CIFOR–ICRAF publishes over 750 publications every year on agroforestry, forests and climate change, landscape restoration, rights, forest policy and much more – in multiple languages.

CIFOR–ICRAF addresses local challenges and opportunities while providing solutions to global problems for forests, landscapes, people and the planet.

We deliver actionable evidence and solutions to transform how land is used and how food is produced: conserving and restoring ecosystems, responding to the global climate, malnutrition, biodiversity and desertification crises. In short, improving people’s lives.

Livelihoods and forest resources in Aceh and Nias for sustainable forest resource management and economic progress: report of the project identification study

Export citation

Dua tahun sudah terlewati sejak bencana gempa bumi dan tsunami pada Desember 2004. Sebagian besar upaya-upaya rehabilitasi kehidupan wilayah korban bencana sudah memasuki tahapan pembangunan ekonomi jangka panjang dan peningkatan mata pencaharian. Namun, kenyataan bahwa kejadian gempa bumi dan tsunami yang terjadi di wilayah yang sebenarnya telah mengalami konflik berkepanjangan, tampaknya terabaikan. Di seluruh provinsi dan khususnya di wilayah pedesaan, keadaan infrastruktur rusak berat dan diperburuk lagi oleh situasi keamanan yang mempersulit bahkan tidak memungkinnya dilakukan perawatan. Tiga dekade masa konflik yang berkepanjangan berdampak pada struktur sosial di provinsi ini. 2.Dengan menggunakan analisis situasi berdasarkan data sekunder dan data primer, kajian ini berusaha mencari kemungkinan pengembangan perlestarian lingkungan hidup yang memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi, melalui pengembangan sistem pertanian berbasis pohon untuk pemulihan kondisi wilayah paska tsunami dan konflik di Aceh dan Nias. Kajian ini dilakukan di wilayah-wilayah yang dipilih berdasarkan aksesibilitasnya dan sejarah konflik: wilayah yang memiliki akesesibilitas tinggi di pantai Timur Provinsi NAD (dengan sejarah konflik yang cukup berat), wilayah dengan aksesibilitas rendah di Aceh Barat (yang juga mempunyai sejarah konflik) dan wilayah dengan aksisbilitas sangat rendah sepeti pulau Nias (yang tidak memiliki sejarah konflik seperti halnya di Aceh). 3.Kajian kondisi sosial – ekonomi di Aceh dan Nias dilakukan dengan cara survey rumah tangga, Rapid Rural Appraisal (kajian perdesaan secara cepat), dan konsultasi dengan beberapa para pemangku kepentingan. Pandangan dan persepsi masyarakat setempat mengenai kebutuhan dan kemungkinan untuk pengembangan ekonomi dikaji secara sistematis. Lokasi kajian mancakup wilayah pantai yang menerima dampak langsung dari tsunami (Zona A) dan wilayah pedalaman dan pegunungan yang tidak terkena dampak langsung tsunami (Zona B). 4.Penghidupan masyarakat perdesaan di Aceh dan Nias bertumpu pada tiga sumber utama: perikanan, pertanian sawah dan lahan kering, serta budidaya tanaman tahunan. Hampir seluruh tanaman padi dikelola secara subsisten dan kurang-lebih 70% budidaya padi merupakan sawah tadah hujan. 5.Padi ladang masih umum dilakukan di daerah pegunungan (Zona B). Banyak masyarakat melakukan praktek perladangan berpindah di lahan-lahan milik komunal (desa) dangan tehnik tebas bakar dalam penyiapan lahan. Semua anggota masyarakat mempunyai hak yang sama dalam pemanfaaan lahan komunal untuk bercocok tanam, sepanjang sedang tidak dimanfaatkan oleh anggota masyarakat yang lain. Lahan-lahan yang sudah digunakan untuk budidaya tanaman pepohonan tidak bisa lagi digarap untuk berccocok tanam oleh anggota masyarakat yang lain 6.Perdamaian atas konflik politik berkepanjangan (perjanjian Helsinki) pada Agustus 2005 dan implementasi perdamaiannya telah menghilangkan ”faktor ketakutan” untuk melakukan pemanfaatan lahan. Di beberapa desa terjadi peningkatan praktek - ii - perladangan yang tidak hanya terbatas di lahan-lahan komunal, bahkan masuk ke wilayah hutan negara yang telah terdegradasi. 7.Kebanyakan masyarakat bekerja sebagai petani atau terkait dengan sektor pertanian, kecuali di daerah pantai Pidie yang kebanyakan adalah nelayan. Pertanian merupakan sumber pendapatan terbesar dari rumah tangga. Hasil tanaman tahunan memberikan sumbangan terbesar dalam pendapatan rumah tangga di Kabupaten Aceh Barat dan Nias (masing-masing 60% dan 30%). Walaupun budidaya pertanian berbasis pohon dilakukan oleh hampir seluruh petani di lokasi kajian, kebutuhan akan pengetahuan dan teknologi budidaya serta pengembangan pemasaran, perlu mendapat perhatian seksama untuk peningkatan hasil. Dalam beberapa kasus, masalah kepemilikan lahan masih belum jelas. 8.Kebanyakan masyarakat merupakan petani atau terkait dengan sektor pertanian kecuali di daerah pantai Pidie dimana kebanyakan adalah nelayan. Pertanian merupakan sumber pendapatan terbesar dari rumah tangga. Tanaman tahunan menyumbangkan porsi tertinggi dari pendapatan rumah tangga di Kabupaten Aceh Barat dan Nias (masing-masing 60% dan 30%). Walaupun wanatani berbasis pohon dilakukan oleh hampir seluruh petani di lokasi kajian, peningkatan teknologi dan pasar diperlukan. Dalam beberapa kasus, isu kepemilikan lahan tidak jelas. 9.Karet merupakan tanaman tahunan yang dominan di Aceh Barat dan Nias. Kebanyakan pohon karet yang ada sudah tua dan tidak produktif. Pohon dan kebun karet tidak terawat dengan baik. Begitu juga dengan budidaya kakao; banyak lahan yang ditinggalkan di daerah pedalaman di Pidie dan juga tidak dikelola secara baik dengan produksi sangat rendah. Budidaya kelapa banyak ditemui di wilayah pantai dengan potensi yang terbatas untuk pengembangannya pada saat ini, karena melimpahnya pasokan dan harga yang sangat rendah. 10.Berkaitan dengan standard kehidupan, dengan menggunakan pendapatan sebagai tolok ukur, masyarakat di wilayah pantai (Zona A) relatif lebih baik (dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi) dari pada masyarakat di wilayah perdalaman (Zona B). Dengan mengacu garis kemiskinan SUSENAS 2007 (Rp 1,834,164/kapita/tahun), proporsi rumah tangga yang ada di bawah garis kemiskinan di semua lokasi kajian lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Pidie memiliki tingkat masyarakat miskin yang tinggi, jauh dibawah garis kemiskinan. Kajian ini menemukan bahwa banyak masyarakat di Pulau Nias dan Pidie daerah pedalaman merupakan kelompok masyarakat miskin. 11.Meningkatnya kebutuhan bahan-bahan bangunan (pasir, batu, kayu, dan batu bata) telah mendorong meningkatnya kegiatan penebangan dan penambangan pasir/batu di Aceh dan Nias. Konversi hutan untuk menanam padi dan sekaligus pengambilan kayu juga meningkat. Harga beras yang semakin tinggi juga memegang peranan penting dalam meningkatnya pemanfaatan lahan untuk menanam padi. Penggunaan lahan gambut untuk pemukiman dan perkebunan kepala sawit juga merupakan salah satu masalah lingkungan yang perlu mendapat perhatian. Pemerintah daerah yang seharusnya dapat menghentikan kegiatan-kegiatan yang merusak ini, tidak banyak memiliki pilihan. - iii - 12.Sistem pertanian berbasis pohon merupakan salah satu pilihan yang dapat dikembangkan baik bagi kepentingan perbaikan lingkungan maupun untuk meningkatkan sumber penghidupan masyarakat. Petani memiliki keinginan untuk mengusahakan tanaman pepohonan: 83% dari responden di daerah pegunungan dan 60% dari responden di daerah pantai tertarik untuk mengusahakan tanaman pepohonan. Karet dengan klon unggulan merupakan tanaman favorit di Aceh Barat dan Nias. Coklat atau Kakao lebih banyak diminati di daerah pegunungan Pidie (77%). Di Pulau Nias, beberapa responden juga berminat terhadap mahoni, jati dan tanaman buah-buahan. Petani tambak di daerah pantai Pidie tidak tertarik dalam menanam pepohonan. 13.Ketersediaan modal menjadi kendala utama bagi pengembangan sistem pertanian berbasis pohon. Kelangkaan tenaga kerja juga menjadi masalah. Masalah lainnya adalah kurangnya pengetahuan dan teknologi budidaya, kurangnya bahan sarana produksi pertanian dan pasar produk-produk pertanian yang kurang memihak petani. Ketersediaan lahan bukan merupakan persoalan utama di Aceh dan Nias. Semua itu mempunyai implikasi bagi pengembangan tanaman pepohonan di masa yang akan datang. 14.Jalan dan infrastruktur lainnya perlu menjadi prioritas pembangunan di daerah. Pasar untuk hasil pertanian maupun produk pertanian masih perlu ditingkatkan, diikuti oleh pelayanan penyuluh pertanian dan lembaga perkreditan rakyat yang lebih terjangkau petani. 15.Di beberapa tempat, responden tidak mengetahui keberadaan dan fungsi dari pemerintahan desa. Lembaga perkreditan seperti bank dan credit union tidak banyak diketahui oleh responden. Dalam beberapa kasus, kredit informal disediakan oleh pedagang-pedagang produksi pertanian, dengan memberikan pinjaman bagi petani. Kelompok tani dan gotong-royong dapat ditemui di beberapa tempat, akan tetapi modal sosial di beberapa tempat terlihat lemah. Institusi keagamaan dianggap bermanfaat oleh masyarakat. 16.Manfaat positif dari penggabungan upaya – upaya pelestarian lingkungan dengan usaha peningkatan pandapatan masyarakat belum sepenuhnya tereksploitasi dalam program-program penanaman pohon dan pelestarian lingkungan yang ada di Aceh dan Nias sekarang ini. Hal ini merupakan tantangan yang perlu dijalani dalam pengembangan tanaman berbasis pohon yang sesuai. 17.Kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan sekarang ini, utamanya yang dilakukan oleh badan-badan kemanusiaan, memberikan petunjuk bahwa walaupun mereka telah mengadopsi pendekatan ”livelihood” – atau kegiatan yang berbasis pengembangan sumber penghidupan, aspek utama seperti kebutuhan input pertanian, keterkaitan pasar dan kaitannya dengan kondisi infrastuktur, belum sepenuhnya menjadi perhatian. 18.Semua itu merupakan peluang untuk melakukan kegiatan atau upaya-upaya yang mengaitkan sumber penghidupan dan lingkungan dalam pengembangan pertanian di daerah pedalaman Aceh dan Nias untuk meningkatkan kehidupan masyarakat, melalui pengembangan budidaya pepohonan sesuai dengan keinganan masyarakat pada tataran hamparan (landscape). Upaya-upaya tersebut, diharapkan memberikan - iv - dampak positif dari integrasi pengembangan lingkungan dan sumber penghidupan melalui program yang sejalan dengan pemngembangan wanatani di lokasi-lokasi yang strategis di Aceh dan Nias. Diharapkan kegiatan itu akan menjadi “model dari kegiatan yang berhasil’ dan sekaligus lokasi pembelajaran. 19.Pembalakan hutan dan degradasi lahan merupakan isu yang harus ditangani melalui perencanaan di tingkat hamparan dan diimplementasikan berdasarkan kebiasaan dan ketertarikan masyarakat setempat (misalnya hutan gampoeng pada tingkat pengurus Mukim) dengan berbagi pemahaman dan penyamaan visi di antara para pemangku kepentingan. Semua hal ini dapat dilaksakan melalui pengembangan pemerintahan daerah yang efektif dan kebijakan yang mendukung. ICRAF telah memiliki pengalaman yang luas, dengan kapasitas dan jaringan kerja untuk mampu untuk melaksanakan upaya – upaya tersebut. Report Summary (English) 1.Three years have passed since the notorious earthquake and tsunami of December 2004. Most rehabilitation efforts are now addressing longer term economic development and livelihood improvements. The fact that the earthquake and tsunami occurred in a province that was already experiencing prolonged violent conflict, somehow seems to be ignored. Throughout the province, and particularly in rural areas, infrastructure sustained serious damage and further deteriorated because the security situation made maintenance difficult or impossible. The three-decade long conflict had affected the social structures in the province. 2.This study made a situational analysis, based on secondary and some primary data, of the opportunity for combining environmental protection and economic development through tree-based systems in the post-conflict and post-tsunami recovery of Aceh and Nias. The study included locations based on access and conflict history:-accessible East Aceh (strong conflict history); less accessible West Aceh (conflict history); and the remote island of Nias (no conflict history). 3.Assessments of the socio-economic conditions in Aceh and Nias were made through household surveys, rapid appraisal methods and extensive consultation with multiple stakeholders. Local people’s views and perception of their needs and opportunities for economic development were systematically studied. Coastal areas (Zone A, with direct tsunami impact) and and areas further inland (Zone B) were covered. 4.Rural livelihoods in Aceh and Nias are essentially based on three resources: fisheries; paddy cultivation (and some dry land crops grown in rotation); and tree crops. Almost all paddy cultivation is managed for subsistence purposes and about 70% of this is rain-fed farming. 5.Upland rice in a fallow rotation is commonly practiced in the inland (Zone B). Many communities maintain a ‘shifting cultivation reserve’ and practice slash-and-burn techniques. Any community member may cultivate abandoned plots unless the previous farmer has deliberately planted tree crops. All members in a community have equal access to community land. Once a plot of land is planted with tree crops no one else can re-cultivate the plot. - v - 6.The political settlement (Helsinki accord) of the long standing conflict of August 2005 and its subsequent peaceful implementation, has removed the ‘fear factor’ from the landscape. In some villages paddy ladang cultivation has increased, not only on community land, but also inside state forest areas that had already been degraded. 7.The majority of people are farmers or are engaged in the agricultural sector, except in the coastal area of Pidie where most are fishermen. Farming is the largest income source for most households. Tree crops contribute a high proportion of household income in West Aceh and Nias district (60% and 33% respectively). Although tree-based agroforestry is practised by almost all farmers in the study sites, better technology and improved markets are much needed. In some case, land tenure issues are not clear. 8.Tree-based farming (kebun), that is essentially agroforestry, contributes significantly to the income of most households in the study sites. The main products from these kebun are rubber, coconut, cacao, pinang (areca nut), fruits and timber. On average, farmers manage 0.5 – 2 ha kebun (or agroforest), a mixture of tree crops with low labour input. Most kebun have been managed for generations and a lack of knowledge and capital limit rejuvenation of these old kebun or agroforestry plots. 9.Rubber is the most dominant tree crop in West Aceh and Nias. Most rubber trees are already old and unproductive. The trees and plots are poorly managed. Likewise, cacao (which is abundant in the inland of Pidie) is cultivated under very low management with very low productivity. Coconut is common in coastal areas but has limited potential for expansion because of over-supply and a very low price. 10.In terms of living standard, people in the coastal areas (Zone A) are better off with higher per capita income compared to people living inland (Zone B). The proportion of households below the poverty line in all study sites is far higher than the national average. Pidie has a high proportion of poor people living far below the poverty line (SUSENAS’ poverty definition for 2007 - IDR 1,834,164/capita/year). People in Nias Island and inland Pidie are among the poorest of the poor. 11.Increasing demand for construction materials (sand, stone, timber and brick) is leading to intensified logging and sand/rock mining activities in Aceh and Nias. Forest conversion for timber and growing paddy is also intense. The price of rice has increased, leading to greater clearance of fallow land for growing rice. The clearance of peat area for human settlements and oil palm plantations is also an environmental problem. The local authorities are unable to stop these destructive activities. 12.There is a good opportunity for tree-based systems for environmental protection and to enhance people’s livelihoods. Farmers clearly have a preference for cultivating tree crops; 83% of respondents in the inland and 60% in coastal area are interested in tree crops. Clonal rubber is the favourite tree crop in West Aceh and Nias districts. Cacao is preferred in the inland of Pidie (77%). In Nias Island, some respondents also want mahogany, teak and fruit trees. The tambak farmers in coastal areas of Pidie are not interested in tree planting. 13.Capital availability is a main constraint to promoting tree-based systems. Labour scarcity is another problem. Other problems include lack of good technology, lack of - vi - input materials and poor markets for agricultural products. Land availability does not seem to be a problem in Aceh and Nias. These constraints have implications on future tree crop development. 14.Roads and other infrastructure are a priority for development. Markets for both farm input and farm output need to be improved, followed by agricultural extension and credit services. 15.In some places, respondents did not recognize the existence and functions of village governments. Credit institutions such as banks and credit unions are largely absent or unknown. In some cases, informal credit systems exist where traders of agricultural commodities provide credit to farmers. The concept of farmer groups and mutual assistance exists in some places, but social capital in many places seems to be weak. Religion-based institutions are perceived as useful by respondents. 16.The potential benefits of combining environmental protection with income generation for the local people have not been sufficiently exploited in current tree planting and environmental programs in Aceh and Nias. This is a challenge that can be addressed through appropriate tree crops development. 17.The on-going activities of many relief agencies indicate that although they have adopted the 'livelihood' approach, key aspects of input requirements, market linkage and infrastructure settings are not yet being addressed. 18.This calls for a project focusing on the livelihood-environment links of local farming communities in the inland of Aceh and Nias, and aiming towards improved rural livelihoods in Aceh and Nias through a system of diverse trees and forests people want in the landscape. The project should demonstrate positive outcomes of integrating livelihood and environment through appropriate agroforestation in strategic locations in Aceh and Nias that may be serve as ‘models of good practice’ and learning sites. 19.The deforestation and land degradation issues must be addressed through landscape level planning and implementation based on local customs and interest (e.g. hutan gampoeng at Mukim level management) with shared-understanding and common vision amongst multiple stakeholders. All this can be supported through development of effective local governance and enabling policies. ICRAF has the necessary experience, capacity and network links to lead the project, if approved.

DOI:
https://doi.org/10.5716/WP15380.PDF
Altmetric score:
Dimensions Citation Count:

Related publications