CIFOR-ICRAF berfokus pada tantangan-tantangan dan peluang lokal dalam memberikan solusi global untuk hutan, bentang alam, masyarakat, dan Bumi kita

Kami menyediakan bukti-bukti serta solusi untuk mentransformasikan bagaimana lahan dimanfaatkan dan makanan diproduksi: melindungi dan memperbaiki ekosistem, merespons iklim global, malnutrisi, keanekaragaman hayati dan krisis disertifikasi. Ringkasnya, kami berupaya untuk mendukung kehidupan yang lebih baik.

CIFOR-ICRAF menerbitkan lebih dari 750 publikasi setiap tahunnya mengenai agroforestri, hutan dan perubahan iklim, restorasi bentang alam, pemenuhan hak-hak, kebijakan hutan dan masih banyak lagi – juga tersedia dalam berbagai bahasa..

CIFOR-ICRAF berfokus pada tantangan-tantangan dan peluang lokal dalam memberikan solusi global untuk hutan, bentang alam, masyarakat, dan Bumi kita

Kami menyediakan bukti-bukti serta solusi untuk mentransformasikan bagaimana lahan dimanfaatkan dan makanan diproduksi: melindungi dan memperbaiki ekosistem, merespons iklim global, malnutrisi, keanekaragaman hayati dan krisis disertifikasi. Ringkasnya, kami berupaya untuk mendukung kehidupan yang lebih baik.

CIFOR–ICRAF publishes over 750 publications every year on agroforestry, forests and climate change, landscape restoration, rights, forest policy and much more – in multiple languages.

CIFOR–ICRAF addresses local challenges and opportunities while providing solutions to global problems for forests, landscapes, people and the planet.

We deliver actionable evidence and solutions to transform how land is used and how food is produced: conserving and restoring ecosystems, responding to the global climate, malnutrition, biodiversity and desertification crises. In short, improving people’s lives.

Kajian agroforestry karet dan kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga (Studi Aksus di Desa Sepunggur, Kecamatan Muara Bungo, Kabupaten Bungo Tebo, Propinsi Jambi

Ekspor kutipan

Pembangunan sektor kehutanan sebagai salah satu bagian dari pembangunan bidang ekonomi bangsa haruslah mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahte-raan masyarakat khususnya masyarakat desa sekitar hutan, sekaligus tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam dan kelangsungan fungsi serta mutu lingkungan hidup. Pembangunan sektor kehutanan terutama dalam upaya peningkatan eksport non migas dari bahanbkaku yang berasal dari sumber alam hutan perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, karena hutan selain sebagai penghasil produk kayu dan non kayu, juga merupakan sumberdaya alam yang potensial bagi kepentingan kegiatan perkebunan, pertanian, transmigrasi, serta kegiatan lainnya. Keberadaan hutan sering terancam untuk perluasan kepentingan-kepentingan tersebut. Sementara itu, masyarakat desa sekitar hutan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya alam, khususnya hutan. Hasil-hasil hutan, baik berupa kayu maupun non kayu seperti getah, rotan, tanaman obat, buah-buahan, dan lain-lain sering menjadi tumpuan ekonomi masyarakat desa sekitar hutan. Di pihak lain, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan hidup, terutama kebutuhan pangan menyebabkan kebutuhan lahan pertanianakan meningkat pula. Sementara lahan yang tersedia untuk pertanian terbatas, maka akan menimbulkan kecenderungan masyarakat sekitar hutan membuka hutan untuk dijadikan areal budidaya pertanian, perkebunan, pemukiman, dan lain-lain, tanpa memperhitungkan meningkatnya ancaman akibat deforestasi dan degradasi lingkungan. Berdasarkan statistik, untuk periode 1985-1995, luas lahan di Pulau Sumatera mengalami penurunan sebesar 1,2% per tahun, sementara pertumbuhan lahan pertanian pada periode yang sama adalah 1,4% per tahun (Tomich et al., 1998). Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian tersebut juga terkait dengan upaya-upaya masyarakat sekitar hutan untuk mencukupi kebutuhan pangan. Khusus di Propinsi Jambi, pembukaan hutan primer maupun sekunder sebagian diantaranya tidak lepas dari usaha masyarakat untuk membuka perkebunan-perkebunan rakyat (terutama karet) yang menjadi tumpuan ekonomi sebagian besar masyrakat sekitar hutan. Komoditi karetpun hingga kini masih tetap menjadi salah satu andalan eksport non migas dari Jambi. Di Kabupaten Bungo Tebo sendiri luas tanaman perkebuan karet rakyat mencapai 150.922 Ha dengan produksi 83.086 ton pada tahun 1977 dan total nilai eksport karet sebesar Rp.90.373.500.000,00 (BPS, 1998). Dalam kaitan itu yang menarik perhatian adalah bahwa pembukaan hutan menjadi kebun-kebun karet rakyat secara tradisional oleh masyarakat setempat diantaranya terdapat pola-pola pencampuran atau kombinasi penanaman antara tanaman karet sebagai tanaman pokok dengan tanaman semusim (padi, palawija, dan lain-lain), maupun dengan tanaman keras lainnya (kayu-kayuan dan buah-buahan). Di samping itu ada pula pola monokultur karet yang hanya mengkonsentrasikan pada tanaman karet saja tanpa pencampuran dengan tanaman lainnya. Hal ini biasanya dilakukan oleh masyarakat yang lebih maju, seperti para transmigran maupun masyarakat lokal melalui pola-pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Khusus untuk penanaman karet rakyat dengan pencampuran atau kombinasi tanaman lainnya seperti di atas, menurut de Foresta dan Michon (1992) adalah merupakan suatu bentuk Agroforestry Karet yang biasa terdapat pada dataran-dataran rendah di Sumatera dan Kalimantan yang menyerupai hutan sekunder dengan tegakan-tegakan lebat , pohon-pohon rendah dan pergantian species yang sangat cepat.
    Tahun publikasi

    1999

    Penulis

    Sudibjo N E

    Bahasa

    Indonesian

    Kata kunci

    agroforestry, analysis, farming systems, land use, policies, thailand

    Geografis

    Thailand

Publikasi terkait