Kerangka pengaman dan pemantauan
Bagaimana orang dilindungi dari resiko?
Kegiatan REDD+ dapat memiliki dampak secara langsung di tingkat lokal, misalnya konflik kepemilikan lahan, akses sumber daya, dan pembayaran yang tidak memadai. Oleh karena itu, penting adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang sah dan efektif untuk menyelesaikan konflik antara pemangku kepentingan dan meningkatkan keberhasilan. Beberapa dana telah menerapkan strategi kerangka pengaman yang ketat untuk menghindari konflik kepentingan. Meskipun penting, pengamanan yang ketat dapat mengakibatkan pembatasan partisipasi kelompok tertentu, seperti masyarakat pribumi yang dapat berdampak negatif pada legitimasi pengambilan keputusan dalam distribusi manfaat.
Berbagai jenis standar sertifikasi sosial dan lingkungan (misalnya Fairtrade, Plan Vivo, dll.) sudah tertanam dalam komunitas, melalui organisasi produsen atau manajer proyek. Selain itu, Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus) yang baru diterbitkan dan diterapkan di Indonesia menegaskan standar baru untuk pembagian manfaat. Pada tahap awal menerima, menanggapi dan menyelesaikan perselisihan secara informal. Proses penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pertemuan informal yang teratur. Ketidaksepakatan yang paling umum berkaitan dengan pembayaran, masalah kualitas produk serta kegagalan menepati kesepakatan.
Metode tradisional yang digunakan para pemangku kepentingan lokal bisa menjadi pelajaran bagi REDD+. Perselisihan dapat dikelola secara lebih efektif melalui mekanisme penyelesaian konflik tradisional ketika pengadilan memiliki kapasitas terbatas untuk memproses klaim atau tidak dapat menegakkan perintah mereka.
Dewan pemangku Kehutanan atau the Forestry Stewardship Council (FSC) menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa secara formal, independen, dan terstruktur dengan baik yang berpotensi diadopsi di berbagai tingkat REDD+.
Pemangku kepentingan yang memiliki kekhawatiran mengenai pemegang sertifikat harus menghubungi pemegang sertifikat secara langsung. Jika masalah tidak dapat terselesaikan, pemangku kepentingan dapat menghubungi lembaga sertifikasi, FSC atau Accreditation Service International (lembaga independen yang memberi wewenang dan memantau lembaga sertifikasi dan FSC).
FSC telah menetapkan prosedur penyelesaian sengketa terikat waktu dan mekanisme daring sehingga para pemangku kepentingan dapat mengajukan dan melacak keluhan dan banding sebagai cara memfasilitasi transparansi.
Studi kasus dari Brasil, Indonesia, dan Malaysia menunjukkan bahwa prosedur penyelesaian sengketa yang melibatkan operator hutan dan masyarakat lokal juga memperjelas hak penguasaan lahan.
Secara global, kekhawatiran meningkat jika REDD+ tidak dapat dilaksanakan dengan cara yang peka secara social, ada risiko memperkuat struktur sosial dan kelembaagan yang mengabaikan perempuan. Meskipun pemerintah Indonesia telah mempertimbangkan ragam kesetaraan gender di banyak sektor termasuk REDD+, secara historis didominasi laki-laki, meningkatnya tekanan komersial lahan pada hutan dan tertanamnya norma sosial dan budaya serta interpretasi agama yang mungkin beresiko untuk memperburuk ketidaksetaraan gender di masyarakat perdesaan. Seruan “pengarusutamaan gender dalam REDD+” di Indonesia menuntut agar kegiatan “tidak merugikan” perempuan dan memberi manfaat secara adil bagi perempuan dan laki-laki.
Kondisi yang memungkinkan pengarusutamaan gender dalam kebijakan REDD+ mencakup pengakuan hukum atas hak asasi manusia, dukungan keuangan dan teknis untuk pengarusutamaan gender, kehadiran serta partisipasi aktif pelaku negara dan non-negara serta organisasi perempuan dan persyaratan penyumbang untuk mewujudkan kesetaraan gender. Tantangan pengarusutamaan gender dalam REDD+ termasuk lemahnya kerangka hukum nasional mengenai kesetaraan gender, koordinasi yang lemah antara para pelaku, dana yang tidak pasti dan terbatas yang ditujukan untuk mengarusutamakan gender di dalam proses REDD+, norma sosial dan budaya mengenai gender, penegakan hukum yang lemah mengenai gender, proses pembuatan keputusan yang tidak inklusif dan kurangnya tokoh perempuan dan keahlian gender. Pengarusutamaan gender di dalam REDD+ tidak hanya membutuhkan komitmen politik tetapi juga pendanaan khusus; pengakuan atas norma sosial dan budaya, politik dan asimetri kekuasaan; dan intervensi untuk mengatasi dinamika kekuasaan yang tertanam dalam struktur politik dan sosial. Sementara, tekanan dan pendanaan dari eksternal dapat membantu negara-negara yang mengambil langkah pertama mereka dalam mengarusutamakan gender ke dalam REDD+, koalisi untuk perubahan yang melibatkan lembaga pemerintah yang berpengaruh dan mampu membuat keputusan yang mengikat, dan kehadiran aktif masyarakat sipil juga diperlukan untuk menerjemahkan kebijakan ke dalam praktik di lapangan dan mempertahankan gender sebagai prioritas dari politik[2].
Untuk proyek REDD+ Asháninka di Peru, saluran resmi untuk penyelesaian konflik dan ekstraksi sumber daya sangat rumit dan membatasi. Sebuah studi menemukan bahwa saluran REDD+ resmi untuk pengaduan terlalu rumit atau mahal bagi anggota untuk diikuti, atau tidak menghasilkan peningkatan taraf hidup atau penyelesaian konflik lahan. Sebagai perbandingan, untuk ekstraksi kayu, jalur informal lebih mudah karena membutuhkan sedikit dokumen dan negosiasi dengan pihak yang tidak dikenal; oleh karena itu, informan studi di Komunitas Asháninka merasa lebih mudah untuk menyetujui atau mengikuti perusahaan kayu, meskipun kesepakatan mereka sendiri tidak menguntungkan. Misalnya, di San Martín, orang Awajún menjelaskan bagaimana saluran resmi justru menunda konflik dengan pendatang yang enggan meninggalkan tanah. Contoh-contoh tersebut menyoroti betapa frustrasinya anggota komunitas setempat yang tetap tidak terpecahkan dan berkontribusi pada praktik deforestasi dan degradasi hutan yang berkelanjutan (Barletti et al. 2021[3]).
Pandemi COVID-19, telah menuntun pemerintah di negara-negara hutan utama seperti Brasil, Kolombia, Republik Negara Kongo, Indonesia dan Peru untuk fokus pada pemulihan dan ketahanan ekonomi masyarakat, tetapi dalam prosesnya telah melemahkan atau menghapus perlindungan hukum dan kebijakan untuk masyarakat pribumi. Kebijakan dan praktik yang melanggar hak-hak masyarakat pribumi termasuk perubahan legislatif dan peraturan; pengecualian masyarakat pribumi dari proses pengambilan keputusan; perluasan kegiatan industri; peningkatan perampasan tanah, penambangan liar, dan penebangan liar di dekat wilayah pribumi; dan meningkatnya kriminalisasi dan tindakan kekerasan terhadap pembela hak asasi manusia pribumi.
Proses deregulasi dan kebijakan serta praktik pelanggaran hak akan menjadi lebih buruk jika pemerintah mementingkan pemulihan ekonomi daripada hak asasi manusia dan lingkungan. Pemerintah donor dan lembaga pembangunan internasional harus dapat mendorong pemerintah negara-negara dengan hutan tropis tinggi untuk menyediakan, melindungi dan mendanai sistem partisipasi masyarakat pribumi. Sementara, organisasi harus meningkatkan uji tuntas mereka dan sistem perlindungan sosial dan lingkungan terkait, memantau secara ketat dan memberikan pengaduan yang dapat diakses dan mekanisme yang efektif untuk dapat memastikan bahwa perlindungan sosial dan lingkungan terlah diterapkan sepenuhnya[4].
Bagamana kinerja dan keuangan dipantau?
Akuntabilitas fiskal
Akuntabilitas adalah penerimaan tanggung jawab atas tindakan.
Akuntabilitas juga menyangkut kemampuan warga negara untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas tindakan yang telah diambilnya atas nama masyarakat. Seorang pelaku dapat disebut akuntabel jika bertanggung jawab untuk transparan mengenai tindakan mereka, dipantau dan dipertanyakan oleh orang lain, dan menerima kritik jika diperlukan. Akan tetapi, banyak individu dan lembaga yang tidak ingin bertanggung jawab. Mungkin karena tekanan dari kelompok kepentingan, karena mengejar tujuan individu, karena tidak memiliki dasar keyakinan yang sama mengenai peran pemerintah atau karena mereka tidak memiliki sumber daya atau pengetahuan yang cukup mengenai bagaimana menjadi transparan.
REDD+ menuntut mekanisme akuntabilitas seperti audit sistematis dan pemantauan secara independen serta kepatuhan protokol sehingga dana dapat disalurkan ke tempat yang dimaksudkan.
Akuntabilitas fiskal merupakan faktor penting dalam efektivitas instrumen kebijakan. Mekanisme redistribusi pendapatan hutan dan satwa liar di Kamerun sebagian besar dianggap kurang efektif untuk mencapai tujuan kebijakannya karena biaya transaksi yang tinggi, proses birokrasi yang rumit dan tidak jelas, dan kurangnya transparansi dalam transfer fiskal dari tingkat nasional ke tingkat lokal.
Legitimasi mekanisme redistribusi pendapatan dari satwa liar sebagai alat kebijakan dapat ditingkatkan melalui pembentukan sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi keuangan partisipatif dengan pengawasan yang dilakukan lebih dari satu pemangku kepentingan, seperti yang diterapkan oleh Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif di Indonesia atau the Extractive Industries Transparency Initiative (EITI)
EITI merupakan standar global untuk transparansi dan akuntabilitas pendapatan pemerintah yang diperoleh dari sektor ekstraktif, termasuk minyak, gas, mineral, dan batu bara. Dibentuk oleh koalisi pemerintah, perusahaan, organisasi masyarakat sipil, investor, dan organisasi internasional, standar tersebut telah mengembangkan metodologi yang lugas dan fleksibel untuk memantau dan menyelaraskan pembayaran perusahaan dan pendapatan pemerintah.
Perusahaan wajib melaporkan pembayaran kepada pemerintah dalam bentuk pajak dan royalti, serta pembayaran dalam bentuk natura. Pada saat yang sama, pemerintah wajib melaporkan pendapatan yang diperoleh dari perusahaan ekstraktif. Laporan tersebut mencakup pembayaran sub-nasional atau sosial dan/atau komunitas transaksi yang tidak terkait dengan produksi. Kedua laporan ini kemudian dibandingkan dan direkonsiliasi oleh auditor independen dan dipublikasikan dalam laporan publik.
EITI juga mengembangkan mekanisme pengawasan oleh lebih dari satu pemangku kepentingan untuk memastikan pelaksanaan proses yang baik dan tepat waktu di setiap negara dan untuk memberikan rangsangan debat publik yang lebih besar mengenai bagaimana pendapatan yang terbatas yang dapat dikeluarkan[5].
Di banyak Provinsi Vietnam, Dana Perlindungan dan Pengembangan Hutan Provinsi atau Forest Protection and Development Funds (FPDF) membentuk dan memimpin unit pengelolaan program Pembayaran Jasa Ekosistem Hutan (PFES) tingkat kabupaten, komune, dan desa untuk mendistribusikan pembayaran PFES dan memantau hutan. Akan tetapi, dalam praktiknya, tingkat pemerintah yang lebih rendah sering kali tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan sehingga tidak jelas bagi mereka bagaimana mematuhi peraturan yang telah ditetapkan di tingkat politik yang lebih tinggi. Tidak banyak panduan bagaimana masyarakat atau dewan pengelola desa dapat membelanjakan pendapatan PFES. Demikian pula, di tingkat masyarakat, penyedia jasa ekosistem jarang disertakan dalam pengambilan keputusan pembelanjaan oleh dewan pengelola karena tidak ada proses untuk mengomunikasikan kekhawatiran yang muncul selama implementasi dana provinsi. Implementasi PFES yang multilevel dirancang sebagai proses top-down pada seluruh tingkatan. Secara bersamaan, upaya untuk mendapatkan lebih banyak informasi mengenai peran dan tanggung jawab sering kali gagal karena saluran informasi yang kurang efektif, yang memengaruhi penyediaan informasi dan saran secara umum, serta proses penandatanganan kontrak dan pendistribusan pembayaran. Secara keseluruhan, tidak adanya partisipasi bottom-up dapat mengakibatkan pengalaman negatif selama proses pertemuan dan penyempurnaan aturan PFES[6].
Transparansi
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak inisatif ber-profil tinggi menyoroti meningkatnya kegelisahan atas pengambilan keputusan yang tertutup dan rahasia.
Keterbukaan informasi yang lebih baik, akan membawa beberapa manfaat bagi implementasi keputusan kebijakan REDD+. Ini termasuk:
- Tuntutan akan pemerintahan yang terbuka dan transparan sebagai sarana untuk memberantas korupsi, terutama di negara yang kaya akan sumber daya;
- Transparansi juga penting untuk mencapai keberhasilan dan efisiensi kebijakan publik;
- Pengambilan keputusan yang transparan merupakan hal yang sangat penting untuk persetujuan berdasarkan informasi –inti dari demokrasi perwakilan.
Sistem pelacakan deforestasi Brasil jika ditegakkan dengan benar sering dianggap sebagai alasan utama pengurangan dramatis deforestasi Amazon selama beberapa dekade terakhir.
Setara dengan NASA, di Brasil –Institut Nasional untuk Penelitian Luar Angkasa atau the National Institute for Space Research (INPE) telah menggunakan sistem pemantauan satelit sejak 2004 untuk mencatat deforestasi di Amazon Brasil secara langsung. Disebut DETER, sistem ini mengidentifikasi pembukaan hutan baru dan memperingatkan pihak berwenang tentang adanya kemungkinan deforestasi ilegal. Meskipun sistem tersebut tidak mengidentifikasi penyebab deforestasi, penelitian lain menunjukkan sebagian besar ilegal dan dilakukan oleh peternak, penebang, penambang, dan perampas tanah yang mencari keuntungan dari lahan hutan publik. Sistem itu mengirimkan data ke badan penegak hukum lingkungan Brasil setiap dua minggu dan lembaga tersebut dapat mengirimkan tim untuk menghentikan deforestasi ilegal dan mendenda pelaku dalam hitungan hari. Nama-nama orang yang didapati melakukan deforestasi secara ilegal dimasukkan ke dalam daftar publik daring dan rumah jagal dapat memeriksa daftar tersebut untuk memastikan ternak yang diterima tidak secara tidak sengaja bersumber dari area terlarang dan bank dapat menolak kredit kepada mereka yang dituduh melakukan deforestasi ilegal. Sistem pemantauan lainnya termasuk Program Pemantauan Deforestasi Hutan Satelit Amazon Brazil (PRODES) dan Proyek Pemantauan Satelit Deforestasi Amazon, sebuah sistem resolusi lebih tinggi yang juga dioperasikan oleh INPE yang menghasilkan data deforestasi resmi Brasil. INPE telah terlibat dalam lokakarya di Afrika, Asia, dan di negara-negara Amazon lainnya, membagi perangkat lunak dan melatih orang-orang mengenai cara membuat program pemantauan hutan secara mandiri.
Pada tahun 2019, upaya pemantauan INPE mendapat kecaman dari Presiden Bolsonaro yang menyerang program PRODES karena mengindikasikan meningkatnya tingkat deforestasi. Direktur INPE Ricardo Galvão, lalu dipecat. Namun, ditekan oleh opini publik dan investor yang peduli terhadap keberlanjutan, Bolsonaro mengambil beberapa langkah untuk melindungi hutan dengan membentuk Dewan Amazon untuk mengawasi pembangunan berkelanjutan dan memandatkan angkatan bersenjata untuk memerangi kejahatan lingkungan di Amazon[7]. Meskipun iklim politik di Brasil tidak bersahabat dengan sistem pemantauan satelit nasional, mempertahankan sistem pemantauan lingkungan INPE dengan transparansi dan otonomi merupakan hal yang sangat penting untuk mendukung keputusan mengenai pengelolaan pengunaan lahan di negara tersebut. INPE juga membantu memastikan kepatuhan terhadap undang-undang kehutanan nasional, menciptakan kepercayaan negara dalam perjanjian perdagangan internasional serta membantu menghormati karakter dan otonomi lembaga agar tidak menyerah pada kepentingan kelompok khusus. Studi kasus ini menggarisbawahi perlunya tanggung jawab sosial oleh para ilmuwan dan transparansi penuh data publik[8].
Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI) adalah standar global untuk transparansi dan akuntabilitas dalam pendapatan pemerintah yang diperoleh dari sektor ekstraktif, termasuk minyak, gas, mineral, dan batu bara. Dibentuk oleh koalisi pemerintah, perusahaan, organisasi masyarakat sipil, investor, dan organisasi internasional, EITI telah mengembangkan metodologi yang sederhana dan fleksibel untuk memantau dan menyelaraskan pembayaran perusahaan dengan pendapatan pemerintah. Perusahaan diwajibkan melaporkan pembayaran kepada pemerintah dalam bentuk pajak dan royalti serta pembayaran dalam bentuk barang, sementara pemerintah diwajibkan melaporkan pendapatan yang berasal dari perusahaan ekstraktif. Laporan tersebut mencakup pembayaran subnasional atau pembayaran sosial dan masyarakat serta transaksi yang tidak terkait dengan produksi, yang dibandingkan dan diselaraskan oleh audit independen sebelum dipublikasikan secara terbuka. EITI juga melibatkan pengembangan mekanisme pengawasan multi-pemangku kepentingan untuk memastikan implementasi proses yang tepat waktu di setiap negara dan merangsang debat publik yang lebih luas tentang bagaimana pendapatan digunakan. Mulai tahun 2019, persyaratan untuk mengungkapkan informasi tentang pengelolaan dan pemantauan dampak sosial dan lingkungan dari industri ekstraktif juga ditambahkan.
Namun, efek transparansi untuk industri ekstraktif juga bervariasi antara negara. Di Indonesia, misalnya, inisiatif ini secara signifikan meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat sipil, tetapi memiliki dampak yang lebih terbatas pada transparansi dan akuntabilitas akibat keterlambatan data, jumlah perusahaan yang melaporkan yang terbatas, kurangnya pengungkapan informasi tentang aspek kritis seperti kontrak, lisensi, dan kepemilikan, serta ketiadaan informasi mengenai dampak lingkungan dan sosial dari industri ekstraktif. Bagi Indonesia dan negara-negara yang menghadapi masalah serupa, mengatasi komitmen politik yang terbatas, kapasitas pemerintah yang terbatas, dan kepentingan pribadi, serta membiarkan EITI berperan sebagai pendorong transformasi tata kelola yang lebih luas, akan menjadi kunci untuk meningkatkan transparansi (Yanuardi et al. 2021[9])
Siapa yang memantau?
Sejak tahun 2011, Uni Eropa telah merundingkan perjanjian perdagangan bilateral dengan berbagai negara pengekspor kayu. Hal yang melekat dalam perjanjian adalah sistem hukum yang dirancang untuk mengidentifikasi, memantau dan melisensikan kayu yang diproduksi secara legal, agar mengurangi permintaan Eropa untuk kayu ilegal. Untuk memenuhi persyaratan UE, suatu negara harus melewati beberapa langkah.
Misalnya, di Indonesia, badan verifikasi independen yang disetujui oleh Kementerian Kehutanan, mengaudit semua operator dalam rantai pasokan: dari hutan hingga titik ekspor. Lisensi legalitas hanya dikeluarkan pada titik ekspor jika semua operator dalam rantai pasiokan benar-benar patuh. Masyarakat sipil secara formal telah diintegrasikan ke dalam sistem sebagai pengamat independen. Proses ini telah menjadi kewajiban bagi semua produksi kayu di Indonesia.
Kementerian Kehutanan Indonesia tidak secara langsung terlibat dalam akreditasi atau audit kepatuhan hukum dan tidak memiliki otoritas untuk menandatangani kepatuhan. Di satu sisi, jarak ini dapat meningkatkan kredibilitas sistem, melewati potensi korupsi atau ketidakpastian implementasi. Di sisi lain, ketika perusahaan mengambil alih Sebagian besar proses audit dan verifikasi, mereka mungkin tidak tunduk pada pengawasan kepentingan publik rutin, seperti oleh audit negara.
Verifikasi dilakukan oleh lembaga verifikasi atau sertifikasi yang sudah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional, dengan lembaga pemantau independen yang dibentuk secara formal untuk mengawasi sistem legalitas kayu melalui pemantauan praktik oleh pengusaha hutan/industri, dan proses akreditasi dan verifikasi. Misalnya, ada persyaratan administratif dan teknis yang membatasi partisipasi masyarakat sipil yang lebih luas, dan ada keputusan menteri melarang pengamat internasional untuk terlibat dalam pemantauan. Oleh karena itu, pemantauan secara independen hanya dapat dilakukan oleh anggota badan pemantauan independen yang sudah terdaftar. Secara keseluruhan, keberadaan dan peran lembaga pemantau independen dalam sistem legalitas kayu belum sepenuhnya dipahami dan sering dipertanyakan oleh para pemangku kepentingan lainnya. Terdapat juga beberapa keraguan mengenai ketidakberpihakan mereka. Dengan demikian, bahkan audit independen mungkin tidak akan cukup untuk mengimbangi tekanan politik atau komersial yang kuat pada proses tersebut Mengembangkan checks and balances diperlukan untuk digunakan bersama sistem akuntabilitas pemerintah dan publik yang ada, seperti berbagi pemantauan di antara lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, dan industri[10].
[1] Tjajadi, J.S., Yang, A.L., Naito, D., Arwida, A.L., 2015. Lessons from environmental and social sustainability certification standards for equitable REDD+ benefit-sharing mechanisms. Center for International Forestry Research (CIFOR).
[2] Pham, Thu Thuy, Tran, N.L.D., Nong Nguyen Khanh, N., Nguyen Dinh, T., 2021c. Mainstreaming gender in REDD+ policies and projects in 17 countries. Journal of Environmental Policy & Planning 1–15.
[3] Barletti, S.J.P., Begert, B., Guerra Loza, M.A., 2021. Is the Formalization of Collective Tenure Rights Supporting Sustainable Indigenous Livelihoods? Insights from Comunidades Nativas in the Peruvian Amazon. International Journal of the Commons 15, 381–394.
[4] Forest Peoples Programme (FPP). 2021. Rolling back social and environmental safeguards in the time of COVID-19. Report. England: FPP.
[5] Assembe-Mvondo, S., Wong, G., Loft, L., Tjajadi, J.S., 2015. Comparative assessment of forest revenue redistribution mechanisms in Cameroon: Lessons for REDD+ benefit sharing. Center for International Forestry Research (CIFOR).
[6] Loft, L., Pham, T.T., Wong, G.Y., Brockhaus, M., Le, D.N., Tjajadi, J.S., Luttrell, C., 2017. Risks to REDD+: potential pitfalls for policy design and implementation. Envir. Conserv. 44, 44–55.
[7] Escobar, H., 2020. Deforestation in the Brazilian Amazon is still rising sharply. Science 369, 613–613.
[8] Araujo, R., Vieira, I.C.G., 2019. Deforestation and the ideologies of the frontier expansion: the case of criticism of the Brazilian Amazon monitoring program. SustDeb 10, 354–378.
[9] Yanuardi, Y., Vijge, M.J., Biermann, F., 2021. Improving governance quality through global standard setting? Experiences from the Extractive Industries Transparency Initiative in Indonesia. The Extractive Industries and Society 8, 100905.
[10] Hasyim, Z., Laraswati, D., Purwanto, R.H., Pratama, A.A., Maryudi, A., 2020. Challenges facing independent monitoring networks in the Indonesian timber legality assurance system. Forest Policy and Economics 111, 102025.