Kewenangan institusi tata kelola

Penting untuk mempertimbangkan dan mengkoordinasikan kewenangan antar institusi.

Memperjelas peran, tanggung jawab, dan mandat pengambilan keputusan antar berbagai bentuk tata kelola hutan dapat meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan legitimasi dari inisiatif REDD+.

Pemerintah pusat dan daerah sama-sama memainkan peran penting, tetapi kapasitas dan kepentingan mereka tidak selalu seimbang

Pemerintah daerah mungkin akan kesulitan untuk mengimplementasikan program REDD+ jika tidak ada sinergi dengan pemerintah pusat. Berbagai tingkat pemerintahan perlu berkoordinasi, memastikan bahwa kebijakan diselaraskan dan mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab dengan benar sehingga pemicu deforestasi dapat diatasi.

Pemerintah daerah: sedikit kekuasaan dengan lebih banyak tanggung jawab?

Pemerintah daerah di negara yang memiliki hutan bervariasi dalam tingkat pengaruh yang mereka miliki untuk mengelola dan mengatur lahan. Dalam beberapa kasus, pemberian hak milik dan penerbitan izin sebagian besar masih berada dalam lingkup badan-badan nasional. Di negara lain, tanggung jawab ini bervariasi antarlevel, bergantung pada sektornya.

Pada tahun 1986, Vietnam mulai meluncurkan reformasi kebijakan yang dikenal sebagai “Doi Moi”, antara lain dengan desentralisasi pengambilan keputusan. Sebagai bagian dari reformasi kebijakan, sistem hukum telah direvisi secara bertahap dengan kewenangan untuk mengelola lahan dan hutan dialihkan ke berbagai tingkat pemerintahan yang “lebih rendah”. Hal ini menghasilkan klasifikasi kekuasaan dan mandat yang lebih jelas, dan memberi pemerintah daerah lebih banyak kekuasaan atas pengelolaan lahan dan hutan. Namun, meskipun di Vietnam desentralisasi pengelolaan lahan dan hutan cukup maju, dan tingkat pemerintahan yang lebih rendah diberi tanggung jawab dan mandat yang lebih besar, proses desentralisasi terhambat oleh kurangnya sumber daya keuangan dan tenaga kerja[1]. Hal ini terjadi karena meskipun desentralisasi di Vietnam telah memberikan kuasa untuk mengambil keputusan dalam negosiasi penggunaan lahan, kekuasaan sebenarnya masih berada di tangan pemerintah pusat. Sementara itu, pemerintah kabupaten dan kelompok kecil memiliki kekuasaan diskresi untuk mempromosikan relevansi lokal, pada kenyataannya, mereka tidak memiliki kekuasaan, sumber daya keuangan, dan kemampuan untuk membuat keputusan penting[2]. Proses desentralisasi perlu lebih memperhatikan kewenangan pemerintah daerah untuk memutuskan sumber daya yang tepat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Desentralisasi harus memperjelas kekuasaan dan sumber daya yang dibutuhkan para pemimpin dan individu di tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung pelaksanaan program yang efektif di tingkat lokal.

Pemerintah Subnasional Acre Brasil menetapkan tingkat emisi rujukan atau Forest Reference Emission Level (FREL) dan sistem informasi kerangka pengaman (safeguard) yang selaras dan kompatibel dengan program REDD+ di tingkat nasional[3]. Negara bagian Acre di Brasil mengembangkan program yurisdiksi REDD+ pertama di dunia melalui Undang-Undang Sistem Insentif untuk Jasa Lingkungan 2010 dengan dukungan dari program Penggerak Awal atau REDD+ Early Movers (REM) REDD+ pemerintah Jerman dari tahun 2012. Sejak itu, pemerintah subnasional telah menciptakan ruang untuk partisipasi politik, memanfaatkan kebijakan dan program negara untuk memenuhi kebutuhan konstituen dan mendukung penentuan nasib sendiri masyarakat asli[4]. Sistem desentralisasi di Brasil memberikan pemerintah subnasional seperti Acre kekuatan hukum dan politik sementara mereka juga lebih dekat dengan masyarakat yang memutuskan penggunaan lahan. Pemerintah daerah yang sangat selaras dengan program REDD+ nasional dapat memiliki pengaruh yang kuat terhadap keberhasilan proyek REDD+ di lapangan dan mempromosikan tujuan REDD+ nasional.

Sebuah studi yang mengevaluasi kemajuan pemerintah daerah Indonesia dalam mencapai sasaran yang diutarakan dalam deklarasi Rio Blanco –sebuah perjanjian yang ditandatangani antara tahun 2014 dan 2018 oleh yurisdiksi, termasuk di antaranya beberapa dari Indonesia, berkomitmen untuk mengurangi deforestasi hingga 80% pada tahun 2020– ternyata tidak menemukan kemajuan nyata. Di Indonesia, hanya satu provinsi (Kalimantan Barat) dari empat yang diteliti memiliki target pengurangan deforestasi yang terukur dan terikat waktu dalam Strategi dan Rencana Aksi REDD+ Provinsi. Proses desentralisasi di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1990-an mengalihkan kewenangan pengelolaan sumber daya alam dari pemerintah pusat ke unit-unit subnasional. Akan tetapi meskipun provinsi memperoleh kewenangan atas perlindungan dan pengelolaa hutan, tetapi tidak memiliki kekuasaan atas penyebab deforestasi. Lagi pula, proses desentralisasi ini tidak didukung oleh undang-undang yang selaras. Hukum, peraturan, dan prioritas yang bertentangan di tingkat nasional, provinsi, dan lokal menciptakan inkonsistensi tata kelola REDD+ di tingkat provinsi di Indonesia. Tingkat pemerintahan yang berbeda perlu dikoordinasikan agar tingkat pemerintahan yang tepat memiliki kewenangan yang tepat atas pengelolaan hutan[5].

Cadastro Ambiental Rural (CAR) atau Registrasi Lingkungan Pedesaan Brasil adalah inovasi kebijakan publik yang merupakan terobosan penting Undang-Undang Perlindungan Vegetasi Asli untuk pemantauan lingkungan di Brasil. Di bawah CAR, pemilik lahan harus memberikan georeferensi batas-batas properti mereka dan kawasan yang dilindungi secara hukum. Kebijakan tersebut berasal dari Mato Grosso dan diuji pula di Mato Grosso sebelum diperluas sebagai undang-undang federal. Keberhasilan penerapan CAR dan penggabungannya ke dalam undangundang dan kebijakan federal adalah hasil dari komitmen negara untuk membangun jaringan alat, program, dan kebijakan yang kuat untuk memantau dan mengendalikan deforestasi selama tiga dekade terakhir[6]. Undang-undang kehutanan dapat diuji dalam skala yang lebih kecil di tingkat subnasional, dan jika berhasil, dapat ditingkatkan ke tingkat nasional.

Sumber
[1]Pham, T.T., Hoang, T.L., Nguyen, D.T., Dao, T.L.C., Ngo, H.C., Pham, V.H., 2019. The context of REDD+ in Vietnam: Drivers, agents and institutions [2nd edition]. Center for International Forestry Research (CIFOR).

[2]Yang, A.L., Nguyen, D.T., Vu, N.T., Le, Q.T., Pham, T.T., Larson, A.M.M., Ravikumar, A., 2016. Analyzing multilevel governance in Vietnam: Lessons for REDD+ from the study of land-use change and benefit sharing in Nghe An and Dien Bien provinces. Center for International Forestry Research (CIFOR).

[3]Duchelle, A., Seymour, F., Brockhaus, M., Angelsen, A., Larson, AM., Moeliono, M., Wong, G.Y., Pham, T.T., Martius, C., n.d. 2019. Forest-based climate mitigation: lessons from REDD+ implementation.

[4]DiGiano, M., Mendoza, E., Ochoa, M., Ardila, J., Oliveira de Lima, F., Nepstad, D., 2018. The Twenty-Year-Old Partnership Between Indigenous Peoples and the Government of Acre, Brazil

[5]Stickler, C., David, O., Chan, C., Ardila, J.P., Bezerra, T., 2020. The Rio Branco Declaration: Assessing Progress Toward a Near-Term Voluntary Deforestation Reduction Target in Subnational Jurisdictions Across the Tropics. Front. For. Glob. Change 3, 50.

[6]Roitman, I., Cardoso Galli Vieira, L., Baiocchi Jacobson, T.K., da Cunha Bustamante, M.M., Silva Marcondes, N.J., Cury, K., Silva Estevam, L., da Costa Ribeiro, R.J., Ribeiro, V., Stabile, M.C.C., de Miranda Filho, R.J., Avila, M.L., 2018. Rural Environmental Registry: An innovative model for land-use and environmental policies. Land Use Policy 76, 95–102.