Kapasitas Lembaga tata kelola: Keterampilan dan kapasitas dalam kesiapan REDD+
Rencana pengelolaan hutan dan MRV
Rencana pengelolaan hutan adalah sebuah proses yang membantu mengidentifikasi sumber daya dan peluang yang tersedia di bagian hutan tertentu. Rencana pengelolaan hutan biasanya mencakup tujuan dan sasaran jangka panjang, inventarisasi hutan yang terperinci, daftar rekomendasi pengelolaan dan jadwal kegiatan. Mekanisme berbasis hasil, seperti REDD+, memerlukan sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi atau Monitoring, Reporting and Verification (MRV) yang andal untuk mengukur kinerja. Hal ini melibatkan pengukuran perubahan stok dan/atau aliran karbon hutan, melaporkan perubahan tersebut secara transparan dan tepat waktu serta memverifikasi perkiraan melalui pihak ketiga yang independen. Hal ini melibatkan pengukuran perubahan stok dan/atau aliran karbon hutan, melaporkan perubahan tersebut secara transparan dan tepat waktu serta memverifikasi perkiraan melalui pihak ketiga yang independen. Jika pemangku kepentingan tidak memiliki kapasitas untuk melaksanakan rencana tersebut, dukungan tambahan diperlukan untuk membekali mereka dengan pelatihan dan keterampilan yang tepat.
Di Vietnam, dua database negara yang terpisah yaitu klasifikasi dan administrasi lahan dibandingkan dan menunjukkan perbedaan dalam data kehutanan. Database pertama yang dikelola oleh Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan berisi informasi tentang pengelolaan tanah, termasuk luas tanah dan perencanaan penggunaan lahan. Database kedua yang dikelola oleh Kementerian Pertanian dan Pembangunan Pedesaan mendefinisikan kategori hutan dan lahan hutan dan berisi data tentang luas cakupan hutan[1]. Keberadaan dua sistem klasifikasi penggunaan lahan memperumit upaya pemantauan dan pelaporan kehutanan nasional karena penilaian didasarkan pada perubahan cakupan hutan dari waktu ke waktu, sedangkan pembagian manfaat REDD+ bergantung pada data pendaftaran penggunaan lahan[2]. Untuk mengkoordinasikan sistem data nasional agar akuntabilitas secara keseluruhan meningkat, dibutuhkan sumber daya tambahan. Konsolidasi dua database Vietnam menjadi satu akan membantu inventarisasi hutan nasional menjadi akurat dan dapat meningkatkan perencanaan pengelolaan hutan negara.
Dalam proyek Bosques Amazonicas, teknisi dari Federasi produsen kacang Brasil menawarkan bantuan dengan berbagai rencana pengelolaan hutan yang diperlukan untuk memanen atau menjual kacang Brasil secara legal.
TENTANG BOSQUES AMAZONICAS
Bosques Amazonicos (BAM) adalah perusahaan swasta yang telah bermitra dengan Federasi produsen kacang Brasil Madre de Dios (FEPROCAMD) untuk meningkatkan kehidupan produsen kacang Brasil dan memberikan insentif untuk mempertahankan hutan mereka yang saat ini terancam oleh pertanian migran dan penebangan liar. Kacang Brasil hanya diproduksi oleh pohon yang tumbuh di hutan asli dengan kanopi hutan yang utuh sehingga dengan melindungi produk kacang Brasil, Hutan harus dilindungi. Selain pengukuran, pelaporan, sertifikasi, dan penjualan karbon, BAM telah berjanji kepada masyarakat lokal bahwa pabrik pengolahan kacang Brasil, bantuan hukum dan teknis serta sistem respons cepat untuk mengatasi invasi lahan ilegal akan dilaksanakan di seluruh daerah konsesi kacang Brasil. Inisiatif ini memberikan contoh pendekatan inovatif untuk REDD+ yang melibatkan sektor swasta dan produsen hutan di kawasan keanekaragaman hayati yang terancam. Baca lebih lanjut tentang proyek ini: https://www2.cifor.org/redd-case-book/case-reports/peru/redd-project-brazil-nut-concessions-madre-de-dios-peru/
Lembaga mitra Global Forest Observations Initiative (GFOI) dengan pendanaan dari the World Bank’s Forest Carbon Partnership Facility menyelenggarakan empat lokakarya dan seri webinar dengan tujuan membangun kapasitas di negara-negara untuk menggunakan Data Earth Observation Remove Sensing untuk memantau perubahan cakupan hutan dan mengukur emisi pengurangan pembayaran berbasis hasil REDD+. Empat lokakarya regional –diadakan di beberapa bagian Asia, Amerika Selatan, dan Afrika menggunakan tiga Bahasa untuk melatih 59 peserta dari 43 negara. Webinar dan lokakarya membahas berbagai alat dan metode yang relevan. Peneliti menemukan bahwa webinar dan lokakarya dianggap jelas dan relevan, dengan lokakarya menjadi pilihan peserta yang lebih disukai. Para peneliti menyarankan bahwa hasil terbaik dapat dicapai dengan menerapkan sistem tradisional dan e-learning bersama-sama. Pendekatan hybrid harus terus dipertimbangkan di masa depan karena efektivitas pengembangan kapsitas secara langsung dan daring dapat memandu pengembangan inisiatif di masa depan –terutama ketika sumber daya keuangan terbatas– dan membantu untuk terus membina hubungan antara pemangku kepentingan yang dikembangkan selama pertemuan tatap muka dan mempromosikan berbagi informasi yang lebih besar yang dapat menginformasikan rencana pengelolaan hutan secara global[3].
Kementerian Pertanian dan Pembangunan Pedesaan (MARD) yang merupakan badan utama REDD+ di Vietnam memiliki strategi gendernya sendiri untuk tahun 2011-2015 yang mencakup langkahlangkah untuk memastikan kesetaraan gender dan dengan jelas mendefinisikan peran para pemimpin unit dan departemennya. Strategi Kehutanan Nasional Vietnam (2006-2020) menyediakan ruang yang menjanjikan untuk pengarusutamaan gender dengan adanya kebutuhan mengembangkan kapasitas pejabat kehutanan untuk menangani masalah gender, membentuk unit fokus gender untuk melembagakan pengarusutamaan gender, dan mempromosikan penelitian dan pemantauan yang peka gender. Namun, usaha ini terhambat oleh kurangnya kapasitas kelembagaan, termasuk sumber daya manusia dan keuangan, serta prosedur dan praktik kelembagaan yang kontradiktif. Misalnya, pelatihan hanya diberikan kepada beberapa anggota Komite Kemajuan Perempuan dan belum diutamakan ke seluruh MARD[4]. Akibatnya kesetaraan gender tidak diprioritaskan dalam proyekproyek REDD+. Rekomendasi untuk rencana kehutanan masa depan mencakup panduan terperinci tentang bagaimana pengutamaan gender harus dilakukan di tingkat provinsi, kabupaten dan masyarakat; pemantauan yang jelas terhadap komitmen pemerintah terhadap peningkatan pertisipasi perempuan dalam posisi pengambilan kepurusan; meningkatkan jumlah target keterwakilan perempuan dalam peran kepemimpinan dan dewan manajemen; kebijakan, langkah-langkah dan struktur insentif di dalam Lembaga untuk mendorong partisipasi sejati perempuan; dan di tingkat desa dan kelompok kecil, program REDD+ dan PES yang meningkatkan akses mereka ke informasi dan sumber daya[5].
Di Indonesia, sistem MRV untuk proyek REDD+ dirancang sebagai sistem top-down[6]. Meskipun ada upaya untuk membangun kapasitas pemerintah daerah atau provinsi untuk terlibat dalam MRV hutan untuk proyek REDD+, kapasitas teknis lintas yurisdiksi bervariasi[7]. Contohnya, proyek the Forest Carbon Partnership Facility’s Carbon Fund scheme di Kalimantan Timur, cukup maju karena disertai pelatihan dan peningkatan kapasitas, dengan perantaraan oleh NGO, lembaga pemerintah, lembaga perbankan, lembaga keuangan non-bank, dan lembaga hukum lainnya untuk mendukung masyarakat yang tidak memiliki kapasitas teknis untuk menyusun laporan[8]. Namun, hal ini adalah pengecualian. Secara umum MRV provinsi kurang berkembang[9]. Hal ini menunjukkan adanya peluang besar untuk memasukkan kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat lokal untuk terlibat dalam kegiatan MRV dalam rencana pengelolaan hutan.
Satu studi tentang dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari Pembayaran Jasa Lingkungan Hutan (PFES) di Provinsi Son La di Vietnam –skema PFES terlama di negara tersebut– menemukan bahwa pengumpulan data dipolitisasi untuk melayani kepentingan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. Karena PFES berkaitan dengan status hutan, kasus pelanggaran, pembayaran PFES dan distribusinya, ada tiga lembaga pemerintah berbeda yang mengumpulkan data nasional dan provinsi tentang PFES sejak dimulainya program pada tahun 2009, tetapi tidak termasuk indikator sosio-ekonomi. Akibatnya, kurangnya data tentang cakupan hutan dan pendapatan rumah tangga sebelum dan sesudah PFES mempersulit untuk memastikan adanya nilai tambah program PFES. Tidak adanya data dasar tentang PFES menyebabkan kurang telitinya penilaian dampak. Ketiga lembaga pemerintah tersebut juga mengumpulkan data menggunakan pendekatan dan jadwal pelaporan yang berbeda. Contohnya, Dana Perlindungan Dan Pengembagan Hutan Son La harus meyampaikan laporan tentang hutan pada bulan Desember, Departemen Perlindungan Hutan Sonla pada bulan Februari, dan Departemen Statistik Son La pada bulan Juni. Jadwal pelaporan yang berbeda menghasilkan kesimpulan yang berbeda tentang dampak PFES. Bahkan, ketika data tersedia, pendekatan pengambilan data, proses, dan hasilnya ditentukan oleh politik. Ini menyoroti pentingnya mekanisme yang transparan, inklusif, dan independen, seperti pemantauan dan evaluasi independen, untuk meningkatkan akuntabilitas dan tranparansi data[10].
Partisipasi masyarakat lokal dalam pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) adanya perubahan penutupan hutan telah dipromosikan sebagai strategi yang menurunkan biaya upaya MRV dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dengan REDD+[11].
Melibatkan masyarakat lokal dalam pemetaan dan kegiatan penilaian karbon lainnya adalah pendekatan baru yang dapat meng partisipasi masyarakat jangka panjang yang lebih efektif dalam MRV REDD+. Di Republik Demokratik Kongo atau Democratic Republic Congo (DRC), pengelolaan oleh masyarakat bukan prioritas dalam strategi nasional REDD+. Namun, ada studi yang menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat secara penuh dan aktif dapat terbentuk jika sistem pemantauan berbasis masyarakat lokal bersarang di dalam sistem pemantauan hutan nasional[12]. Demikiran pula, di Kalimantan Barat dan Jawa Tengah, Indonesia, satu studi percontohan pemetaan partisipatif menemukan bahwa masyarakat mampu memberikan informasi pelengkap peta pengindraan jarak jauh dan juga mengidentifikasi pendorong penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan. MRV partisipatif dapat berfungsi sebagai forum diskusi dan dengan demikian memungkinkan anggota masyarakat mengembangkan pemahaman yang lebih kuat tentang REDD+[13].
Terlepas dari potensi manfaat MRV partisipatif atau Parcipatory MRV (PMRV), penelitian yang ada masih terbatas. Klaim bahwa PMRV mendorong dampak sosial REDD+ secara langsung, seperti peningkatan kesadaran lingkungan dan kesetaraan dalam pembagian manfaat, kurang didukung bukti empiris dibandingkan dengan hasil teknis REDD+. Studi di masa yang akan datang harus mencakup penilaian pengalaman PMRV masa sebelumnya, formalisasi PMRV, dan pengujian skala penuh di lapangan dengan mengintegrasikan studi PMRV masa depan ke dalam implementasi REDD+ lokal[14].
Pemantauan teritorial
Di banyak negara REDD+ ada kesenjangan keterampilan yang besar dalam pemantauan karbon hutan antara kebutuhan tingkat nasional dan keadaan saat ini.
Beberapa negara menghadapi tantangan dalam hal institusi, sumber daya manusia, dan infrastruktur teknis, seperti koneksi internet dan jangkauan pengindraan jauh yang buruk. Upaya internasional dapat meningkatkan cakupan data satelit dengan berinvestasi dalam fasilitas akuisisi data yang lebih baik. Bagi negara lain, persoalannya bukan soal teknologi, tetapi penegakan hukum.
Sistem pelacakan deforestasi Brasil –jika ditegakkan dengan benar– adalah sistem yang sangat maju dan pendorong utama pengurangan deforestasi Amazon selama satu dekade terakhir.
Lembaga setara dengan NASA di Brasil –the National Institute for Space Research (INPE)– telah menggunakan sistem pemantauan satelit sejak 2004 untuk mencatat deforestasi di Amazon Brasil secara real-time.
Data tahunan resolusi tinggi yang dikumpulkan program khusus pemantauan deforestasi di Kawasan Amazon (PRODES) dilengkapi dengan data resolusi yang lebih rendah dari program Deteksi deforestasi real time (DETER) yang bebas diunduh oleh organisasi pemerintah maupun non-pemerintah/LSM. Polisi dan militer ikut di mobilisasi untuk melaksakan operasi pengawasan di seluruh kawasan “busur deforestasi” (arc of deforestation).
Penegakan aturan terus menjadi masalah dan produsen kecil yang paling dirugikan oleh peningkatan pemantauan. Sementara, produsen besar tidak terpengaruh karena kemampuan mereka untuk embela m diri secara prosedural terhadap denda selama proses administrasi. Kasus Brasil menyoroti pentingnya pengembangan sistem pelacakan data yang kuat dalam membangun upaya pemantauan, yang harus didukung oleh penegakan dan kerangka pengaman[15].
Selama beberapa tahun terakhir, Guyana telah berupaya untuk mengatasi kurangnya data deforestasi yang terpercaya. Sistem pemantauan hutan nasional Guyana, yang dikenal sebagai sistem pemantauan, pelaporan, dan verivikasi (MVRS), secara historis berjuang dengan kurangnya data dalam mengukur cakupan hutan dan deforestasi. Lebih dari separuh hutan Guyana tidak dapat diakses melalui jalan raya dan sungai, yang membuat pengumpulan data lapangan menjadi sulit. Untuk mengatasi masalah ini, Guyana menerapkan proses penilaian akurasi independen untuk melengkapi sistem pelaporan nasional. Untuk mengurangi risiko penilaian laju deforestasi terlalu rendah, sistem dibangun atas prinsip konservatif, yang menilai rendah penurunan emisi. Komisi Kehutanan Guyana (GCF) juga telah meningkatkan ketelitian data deforestasi yang dapat diverifikasi melalui perbaikan metodologi. Akhirnya, verifikasi pihak ketiga yang independent juga telah memverifikasi indikator sementara untuk kinerja REDD+ di Guyana terkait dengan emisi yang dihasilkan dari: i) kegiatan pengelolaan hutan; dan ii) kegiatan pembalakan liar. Negara-negara yang berjuang dengan kurangnya data tepercaya dapat belajar dari Guyana bagaimana berbagai pendekatan yang mungkin, seperti menerapkan penilaian akurasi independen, mengadopsi prinsip konservatif dan perbaikan metodologi, dan terlibat dalam verifikasi pihak ketiga yang independen[16].
Proyek Karbon Hutan Surui adalah proyek konservasi pertama yang dipimpin oleh masyarakat asli yang dibiayai melalui penjualan offset karbon. Hal ini secara dramatis mengurangi deforestasi dalam wilayah selama lima tahun pertama beroperasi (2009 – 2014) dan mendanai enam inisiatif pengembangan masyarakat mandiri meskipun kurangnya permintaan yang didorong oleh kepatuhan untuk offset pada pasar karbon, kurangnya penegakan hukum, dan kehadiran kegiatan kriminal yang berniat mengganggu proyek dengan menabur konflik. Proyek ini juga berkontribusi pada peningkatan kapasitas teknis pengembang proyek lokal dan pemangku kepentingan lainnya di masyarakat asli, sementara beberapa perusahaan swasta membeli offset karbon untuk mendukung proyek tersebut[17]. Namun, proyek dihentikan pada 2018 setelah penemuan deposit emas di wilayah tersebut yang memicu lonjakan deforestasi. Beberapa anggota masyarakat Paiter bekerja sama dengan orang luar yang memasuki wilayah tersebut secara ilegal, mengembangkan penambangan aluvial ilegal. Deforestasi meningkat pada tahun 2016 dan 2017, karena seorang anggota Paiter yang berkolusi dengan para penambang menggunakan pendapatan yang dihasilkan untuk membeli ternak dan membuka hutan untuk lahan penggembalaan. Hilangnya hutan memaksa masyarakat Paiter menunda proyek karbon, sedangkan usaha pertambangan dan pertanian baru berkontribusi pada keresahaan masyarakat karena perbedaan pendapatan[18]. Proyek ini rusak akibat ulah kelompok kecil penebang, penambang, misionaris, dan kolusi, tetapi peningkatan kemampuan pengawasan wilayah dapat membantu mencegah penggunaan ilegal. Proyek ini menyoroti pentingnya sistem pengawasan yang akurat dalam mengidentifikasi dan menghentikan penggunaan lahan ilegal sebelum lepas kendali.
Adanya hambatan penyampaian informasi kepada masyarakat lokal yang menghalangi mereka untuk memahami dengan jelas baik risiko maupun manfaat terkait dengan mekanisme pembagian manfaat seperti REDD+.
Hambatan dapat berupa bahasa teknis, tingkat literasi, dan bahasa itu sendiri. Di antara pemangku kepentingan, dapat terjadi asimetri antara akses informasi dan sumber daya yang dapat menciptakan tidak seimbangnya kemampuan dan distorsi partisipasi. Jika tidak diatasi, hambatan memahami mekanisme pembagian manfaat REDD+ ini dapat menyebabkan harapan yang tidak jelas tentang kapan biaya dan manfaat mungkin diperoleh. Pelopor proyek mungkin juga menahan informasi untuk menghindari timbulnya harapan atau kebingungan yang salah, tetapi pendekatan ini harus dihindari. Meskipun menghindari risiko meningkatkan harapan palsu tentang pendapatan karbon sah-sah saja, hal ini dapat membuat masyarakat frustrasi karena diberi informasi sedikit demi sedikit.
Meningkatkan penyebaran informasi, ketersediaan, dan transparansi tentang persyaratan dan distribusi pembayaran dapat mendukung pengambilan keputusan yang efektif tentang penggunaan sumber daya REDD+.
Pada 2019 dan 2020, pendanaan berbasis kinerja REDD+ untuk yurisdiksi sub-nasional disetujui untuk Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Meskipun semangat tinggi di awal, keterlambatan dalam menyiapkan infrastruktur nasional untuk menerima dan mengalokasikan pembayaran REDD+ mengurangi kegembiraan para peserta. Baru pada September 2019 terbentuk mekanisme keuangan yang diperlukan untuk menengahi transfer dana dari pendanaan iklim internasional ke penggunaan domestik –Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)–setelah tertunda bertahun-tahun[19].
Informasi penting tentang bagaimana mekanisme baru mengalokasikan dan menyalurkan dana kepada peserta belum diungkapkan, sehingga belum jelas pula yurisdiksi subnasional yang mana akan menerima bagian pembayaran internasional[20]. Penundaan atau waktu yang buruk harus dihindari sebisa mungkin, seperti halnya menahan informasi karena dapat menyebabkan kebingungan seputar inisiatif REDD+ dan melemahkan insentif untuk partisipasi.
[2] Pham,T.T., Moelino, M., Nguyen, T.H., Nguyen, H.T., Vu, T.H., 2012. The context of REDD+ in Vietnam: Drivers, agents and institutions. CIFOR.
[3]Carter, S., Herold, M., Jonckheere, I.G.C., Espejo, A.B., Green, C., Wilson, S., 2021. Capacity Development for Use of Remote Sensing for REDD+ MRV Using Online and Offline Activities: Impacts and Lessons Learned. Remote Sensing 13, 2172.
[4]Pham, T.T., Mai, Y.H., Moeliono, M., Brockhaus, M., 2016. Women’s participation in REDD+ national decision-making in Vietnam. Int. Forest. Rev. 18, 334–344.
[5]Pham, T.T., Brockhaus, M., 2015. Gender mainstreaming in REDD+ and PES: Lessons learned from Vietnam. Center for International Forestry Research (CIFOR).
[6]Ochieng, R.M., Visseren-Hamakers, I.J., Arts, B., Brockhaus, M., Herold, M., 2016. Institutional effectiveness of REDD+ MRV: Countries progress in implementing technical guidelines and good governance requirements. Environmental Science & Policy 61, 42–52.
[7]Ochieng, R.M., Arts, B., Brockhaus, M., Visseren-Hamakers, I.J., 2018. Institutionalization of REDD+ MRV in Indonesia, Peru, and Tanzania: progress and implications. E&S 23, art8.
[8]Benefit Sharing Plan: East Kalimantan Jurisdictional Emissions Reduction, INDONESIA
[9]Bhomia, R.K., Nofyanza, S., Thürer, T., O’Connell, E., Murdiyarso, D., 2021. Global Comparative Study on REDD+ story of change: CIFOR’s science on wetlands for Indonesian measurement, reporting and verification and forest reference emission level development. Center for International Forestry Research (CIFOR).
[10]Pham, T.T., Ngo, H.C., Dao, T.L.C., Hoang, T.L., Micah, R.F., 2020. The politics of numbers and additionality governing the national Payment for Forest Environmental Services scheme in Vietnam: A case study from Son La province. FS 379–404.
[11]Hawthorne, S., Boissière, M., Felker, M.E., Atmadja, S., 2016. Assessing the Claims of Participatory Measurement, Reporting and Verification (PMRV) in Achieving REDD+ Outcomes: A Systematic Review. PLoS ONE 11, e0157826.
[12]Schmitt, C.B. and Mukungu J., 2019. How to Achieve Effective Participation of Communities in the Monitoring of REDD+ Projects: A Case Study in the Democratic Republic of Congo (DRC). Forests 10, 794.
[13]Beaudoin, G., Rafanoharana, S., Boissière, M., Wijaya, A., Wardhana, W., 2016. Completing the Picture: Importance of Considering Participatory Mapping for REDD+ Measurement, Reporting and Verification (MRV). PLoS ONE 11, e0166592.
[14]Boissière, M., Herold, M., Atmadja, S., Sheil, D., 2017. The feasibility of local participation in Measuring, Reporting and Verification (PMRV) for REDD+. PLoS ONE 12, e0176897.
[15]May, P.H., Gebara, M.F., de Barcellos, L.M., Millikan, B., 2016. The context of REDD+ in Brazil: drivers, agents, and institutions – 3rd edition. Center for International Forestry Research (CIFOR).
[16]Benn, V.P., T.T., P., Moeliono, M., Maharani, C., Thomas, T., Chesney, P., Dwisatrio, B., Ha, C.N., 2020. The context of REDD+ in Guyana: Drivers, agents and institutions. Center for International Forestry Research (CIFOR).
[17]Garcia, B., Rimmer, L., Canal Vieira, L., Mackey, B., 2021. REDD+ and forest protection on indigenous lands in the Amazon. RECIEL 30, 207–219.
[18]Zwick, S., 2019. The Story of the Surui Forest Carbon Project. Forest Trends (accessed 2.11.22).
[19]Arumingtyas, L., 2019. Pemerintah Bentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan. Mongabay.
[20]Seymour, F.J., Aurora, L., Arif, J., 2020. The Jurisdictional Approach in Indonesia: Incentives, Actions, and Facilitating Connections. Front. For. Glob. Change 3, 503326.