Instrumen pendukung kebijakan
Sejumlah kebijakan dapat mendukung suksesnya proyek REDD+, yaitu kebijakan strategis penggunaan lahan yang selaras, komitmen dari sektor swasta, dan promosi pertanian berkelanjutan dan reforestasi.
Penyelarasan strategis kebijakan penggunaan lahan: REDD+ termasuk dalam Komitmen Kontribusi Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDCs) dan kebijakan perubahan iklim di banyak negara, namun penyebab deforestasi dan degradasi hutan tidak sepenuhnya diakui. Kebijakan penggunaan lahan yang jelas yang melawan penyebab deforestasi dan degradasi hutan, bersama dengan kerangka pemantauan dan evaluasi yang transparan, dibutuhkan untuk memastikan efektivitas NDCs dalam mencapai hasil yang diinginkan. Perbaikan juga bisa dibuat atas kebijakan yang sudah ada terkait perencanaan penggunaan lahan, kepemilikan, layanan perpanjangan, dan skema pembiayaan[1].
Komitmen sektor swasta: Pertanian komersial adalah penyebab besar terjadinya penggundulan hutan. Para pelaku sektor swasta dapat membuat komitmen untuk memproduksi dan mencari komoditas untuk mengurangi risiko terhadap hutan, namun penerapan janji yang diusung sektor swasta mengenai deforestasi nol (zero deforestation) sebaiknya dipercepat dan transparan untuk menunjukkan hasil dan kemajuan nyata. Alternatifnya, Perusahaan juga dapat mengadopsi sertifikasi standar manajemen dan produksi, melaksanakan audit dan verifikasi, dan berpartisipasi dalam menjamin rantai pasokan. Pemasok dapat meningkatkan ketertelusuran serta upaya pemantauan dan verifikasi mereka[2].
Intensifikasi produksi pertanian berkelanjutan: Intensifikasi berkelanjutan melibatkan peningkatan hasil pertanian tanpa memperluas konversi lahan nonpertanian untuk meningkatkan produktivitas dan penghasilan dari peternakan; meningkatkan adaptasi dan resiliensi perubahan iklim; serta mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari pertanian. Hasil yang lebih baik mungkin memberikan insentif untuk memperluas lahan pertanian menjadi hutan, jadi kebijakan perlu meliputi tindakan khusus penghematan lahan. Petani harus memiliki kapasitas, tenaga kerja, dan input intensifikasi pertanian, dengan tidak menggunakan sumber daya tersebut untuk memperluas lahan pertanian dan tidak melanggar kebijakan tata kelola dan konservasi hutan[3].
Restorasi hutan: Inisiatif untuk memulihkan hutan dan lanskap yang terdegrasi semakin popular, khusunya di wilayah Amerika Latin, dimana proyek restorasi hutan ditujukan untuk meningkatkan tutupan vegetasi dan membangun kembali proses ekologi dan keanekaragaman hayati. Untuk proyek-proyek yang langsung mengatasi penyebab degradasi, struktur insentif perlu untuk mempromosikan pengelolaan tanah berkelanjutan dan restorasi lahan terdegradasi dan termasuk kegiatan pemantauan untuk melacak dampak karbon hutan[4].
Kakao adalah penyebab penting perubahan hutan di Sub-Sahara Afrika (SSA). Sebuah studi baru tentang deforestasi terkait tanaman komoditas menemukan bahwa produksi kakao di SSA menyumbang 57% dari perluasan kakao global antara tahun 2000 dan 2013. Dalam usaha untuk membalikkan kecenderungan ini, dua negara penghasil utama kakao di SSA – Pantai Gading and Ghana – telah menjadikan kakao sebagai pemeran utama dalam strategi NDCs dan REDD+ mereka, mengembangkan insentif bagi perusahaan yang berkomitmen pada rantai pasokan kakao bebas deforestasi untuk bekerja sama dengan dua negara ini. Di lapangan, pendekatan terintegrasi untuk wanatani yang mempertimbangan seluruh rantai nilai kakao akan menjadi inti dari upaya REDD+[5].
Kasus ini adalah contoh dari meningkatnya komitmen sektor swasta yang ditujukan untuk sumber bahan berkelanjutan dan rantai pasokan bebas deforestasi. Akan tetapi, pekerjaan di bidang ini belumlah selesai. Satu studi yang mengevaluasi kesepakatan zero deforestation seperti Inisiatif Kakao dan Hutan atau the Cocoa and Forests Initiative (CFI) Pantai Gading dan Ghana menemukan beberapa masalah, antara lain bahwa perushaan di hilir yang berhadapan dengan konsumen menggunakan persyaratan yang lebih longgar daripada mitra di hilir, tidak jelasnya definisti dan jadwal, diabaikannya rantai pasokan yang tidak langsung dan tidak telitinya lokasi geospatial[6].
Upaya berani restorasi hutan Ethiopia dapat membantu memenuhi tujuan REDD+. Negara ini berkomitmen untuk memulihkan 22 juta hektar hutan dan lahan pertanian terdegradasi pada 2030. Dengan melestarikan hutan alam dan membangun yang baru, hutan diharapkan berperan signifikan dalam pembangunan sosial ekonomi negara, menyumbang 50% dari potensi reduksi emisi nasional, dan berkontribusi untuk membangun ekonomi netral karbon pada 2030. Antara 2016 dan 2020, Ethiopia bertujuan untuk mengalihkan 2 juta hektar hutan untuk pengelolaan hutan partisipatif sambil mengidentifikasi dan membatasi 4,5 juta hektar lahan yang terdegradasi untuk restorasi, penghijauan, dan reforestasi. Selain itu, Komisi Lingkungan, Hutan, dan Perubahan Iklim Ethiopia telah mengidentifikasi opsi restorasi berbasis pohon untuk meningkatkan tutupan pohon di lanskap berbeda, seperti tepi danau dan tepi sungai, zona penyangga hutan alam, padang rumput dan lanskap pertanian. Namun, terlepas dari komitmen restorasi nasional yang berani, kurangnya kemauan dan kapasitas politik pada negara bagian dan tingkat pemerintah yang lebih rendah dapat menimbulkan masalah implementasi. Selain itu, keberhasilan skema hutan partisipatif di komunitas berbeda tidak pasti, menunjuk pada kebutuhan untuk mempertimbangkan faktorfaktor seperti pembentukan koperasi, kekayaan wakaf masyarakat, homogenitas etnis, jarak ke pasar terdekat, dan hubungan antara kantor perlindungan lingkungan kabupaten dengan koperasi (Walle and Nayak 2020[7]). Diambil dari: “Forest landscape restoration in Ethiopia by Habtemariam Kassa” in Ngoma et al. (2018)[8] dan (Walle and Nayak 2020)[9].
[2] Pacheco, P., Bakhtary, H., Camargo, M., Donofrio, S., Drigo, I., Mithöfer, D., n.d. Can zero deforestation commitments save tropical forests? 18.
[3],[5],[8] Ngoma, H., Angelsen, A., Carter, S., Roman-Cuesta, R.M., 2018. Climatesmart agriculture: Will higher yields lead to lower deforestation? In Angelsen A, Martius C, De Sy V, Duchelle AE, Larson AM and Pham TT, eds. Transforming REDD+: Lessons and new directions. Bogor, Indonesia: CIFOR. 175–187.
[4] 70 Verchot L, De Sy V, Romijn E, Herold M and Coppus R. Forest restoration: Getting serious about the ‘plus’ in REDD+. 2018. Introduction: REDD+ enters its second decade. In Angelsen A, Martius C, De Sy V, Duchelle AE, Larson AM and Pham TT, eds. Transforming REDD+: Lessons and new directions. Bogor, Indonesia: CIFOR. 189–202.
[6] Carodenuto, S., Buluran, M., 2021. The effect of supply chain position on zero-deforestation commitments: evidence from the cocoa industry. Journal of Environmental Policy & Planning 23, 716–731.
[7],[9] Walle, Y., Nayak, D., 2020. How Can Participatory Forest Management Cooperatives be Successful in Forest Resources Conservation? An Evidence From Ethiopia. Journal of Sustainable Forestry 39, 655–673.