Legitimasi
Legitimasi suatu proses
Konsensus dan konsultasi mungkin lebih dibutuhkan daripada uang tunai agar REDD+ berhasil.
Penelitian menunjukkan bahwa perwakilan organisasi dan/atau komite partisipan lokal dapat membantu membangun legitimasi, baik dalam prosedur maupun hasil. Komitmen dari perwakilan untuk penciptaan satuan yang benar-benar representatif untuk dialog, berbagi informasi dan berpikir kreatif tentang bagaimana memilih perwakilan secara demokratis juga mendorong proses legitimasi ini. Hal ini melibatkan upaya untuk mempromosikan proses seleksi yang adil dan sah secara lokal untuk perwakilan dan memberikan panduan untuk masyarakan tentang cara menjadi lebih transparan dan akuntabel.
Di kalangan masyarakat Puerti Ocopa di Peru terdapat pola komunikasi yang jelas seputar kegiatan pemantauan di berbagai tingkatan. Subkomite pemantauan diharapkan untuk sering berkomunikasi dengan komite pemantau, ketua komunitas, dan satuan pemantau lokal, dengan informasi yang juga dibagikan kepada masyarakat luas dalam majelis umum. Contohnya, dalam kasus ancaman lingkungan, subkomite pemantauan melaporkan ancaman kepada kepala komunitas dan jika dibutuhkan kepada organisasi pribumi atau lembaga kehutanan pemerintah terkait. Saluran informasi yang matang ini memungkinkan komunikasi yang lancar antar-aktor dan memfasilitasi berbagi informasi, bahkan dalam menghadapi tantangan pemimpin lokal atau perubahan kepemimpinan[1].
Di Brasil, komitmen politik terhadap keterwakilan perempuan di REDD+ sangat kuat, dengan banyaknya perwakilan perempuan di komite REDD+ nasional. Kementerian Lingkungan Hidup Brasil juga telah membentuk komite gender untuk mendiskusikan kesetaraan gender di proyek REDD+. Komite nasional REDD+ Brasil juga memastikan keseimbangan gender di antara perwakilan di semua Dewan Penasihat Tematik REDD+[2]. Akan tetapi, Perwakilan politik saja tidak cukup untuk menjamin kesetaraan gender yang sebenarnya. Pembentukan berbagai komite yang didedikasikan untuk kesetaraan dan keseimbangan gender dapat membantu mempromosikan lingkungan di mana perempuan memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pendapat mereka.
Tinjauan Bee dan Sijapati Basnett’s[3] erhadap desain program REDD+ dalam berbagai negara menunjukkan bahwa gender dipahami sebagai ‘kesetaraan partisipasi’ perempuan dan laki-laki dalam desain REDD+ sebagai bagian dari bagian dari persyaratan pemantauan, pelaporan, dan verifikasi. Namun, pemahaman yang jelas tentang apa artinya atau bagaimana mencapai partisipasi yang berarti bagi sejumlah perempuan masih sangat kurang. Ada juga asumsi bahwa partisipasi perempuan secara otomatis mengarah kepada pengaturan pembagian manfaat yang dapat mempromosikan kesetaraan gender. Sebagai bagian dari proses pemantauan, pelaporan dan verifikasi REDD+, setiap negara yang terlibat diharuskan untuk mengumpulkan dan memberikan informasi tentang bagaimana kerangka pengaman, termasuk gender, ditangani dan dihormati. Namun, kurangnya panduan yang jelas tentang bagaimana cara melakukan hal ini berarti bahwa gender ditangani dengan cara reduksionis, dengan gender yang berisiko diberikan item teknis atau politik untuk dicentang dalam kotak centang[4].
Konsultasi
Pengaturan pembagian manfaat berfungsi lebih baik bila dikembangkan melalui proses yang dipandang sah oleh masyarakat. Ketergantungan yang berlebihan pada satu atau dua perwakilan dari masyarakat, dapat dengan cepat menjadi masalah dan mengikis legitimasi proyek.
Persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent atau FPIC) adalah sebuah prinsip yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan ke tangan masyarakat hutan. Sebelum pembangunan industri besar (misalnya, kepala sawit, tanaman kayu, atau pertambangan di tanah adat), investor, perusahaan, atau pemerintah harus menyetujui negosiasi tanpa paksaan yang informatif dengan masyarakat lokal. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan masyarakat mengetahui perubahan penggunaan lahan yang diusulkan, dan dapat menyetujui, memodifikasi, dan menolak kegiatan, perubahan, atau pengaturan pembagian keuntungan. Tetapi, bahkan ketika konsultasi masyarakat dimandatkan, hal ini jarang diterjemahkan menjadi persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan. Konsultasi tidak terjadi, atau jika terjadi, konsultasi hanya melibatkan elit lokal.
Sistem insentif untuk Jasa Lingkungan Acre (The Acre State System of Incentives for Environmental Services atau SISA), yang disahkan menjadi undang-undang di negara bagian Acre pada tahun 2010, mengakui hak-hak masyarakat pribumi, menetapkan perlindungan sosial dan lingkungan dan berkomitmen untuk pembagian manfaat yang adil. Sebelum ditandatangani menjadi undang-undang, SISA Acre menjalani proses penelitian dan konsultasi ekstensif yang melibatkan masyarakat adat dan penerima manfaat potensial lainnya, serta otoritas negara bagian dan federal juga masyarakat sipil. Pada tahun 2015, setelah lima tahun proses perencanaan, konsultasi, dan verifikasi, Acre menjadi yurisdiksi pertama secara global yang mengembangkan dan menerapkan Standar Sosial dan Lingkungan REDD+ (REDD+ Social and Environmental Standards) sebagai bagian dari program SISA. SISA juga membentuk mekanisme penting untuk tata kelola, transparansi, akuntabilitas dan pengawasan, termasuk Komisi untuk Validasi dan Pemantauan Negara (the State Commission for Validation and Monitoring atau CEVA), sebuah komisi multistakeholder yang terdiri atas otoritas publik dan masyarakat sipil, serta Kelompok Kerja Masyarakat pribumi (Indigenous Peoples Working Group atau GTI), yang terdiri dari perwakilan SISA, Yayasan Nasional Indian, Sekretaris Lingkungan Hidup Negara, Institut Perubahan Iklim Acre, Sekretaris Urusan Adat Acre, dan 19 asosiasi masyarakat adat lainnya[5].
Pembagian Informasi
Mengingat sifat REDD+ yang kompleks dan abstrak, banyak pelaku proyek menahan informasi untuk menghindari timbulnya harapan yang salah dan kebingungan.
Pelaku proyek REDD+ mungkin tidak menyampaikan semua informasi kepada penduduk lokal untuk menghindari timbulnya harapan yang salah atau kebingungan tentang REDD+. Meskipun pelaku proyek bermaksud untuk tidak memberikan harapan yang salah mengenai REDD+, hal ini tetap membuat masyarakat frustasi karena informasi yang diberikan sedikit demi sedikit.
Menyelenggarakan lokakarya rutin yang lebih mudah diakses oleh seluruh pemangku kepentingan untuk mendiskusikan isu-isu spesifik yang berkaitan dengan desain proyek dapat membantu memastikan bahwa informasi mencapai penduduk lokal yang lebih luas. Pendekatan ini juga mencegah ketergantungan pada perwakilan utama masyarakat lokal yang mungkin gagal mentransfer pengetahuan ke masyarakat mereka.
Pada proyek REDD+ Alto Mayo Peru, sebuah LSM bermitra dengan pemerintah untuk membuat kesepakatan konservasi dengan pemukim lokal yang menempati kawasan lindung. Jika tidak sepakat, akan diancam dengan pengusiran. Masyarakat lokal awalnya menolak kesepakatan tersebut karena percaya tanah mereka telah dibeli oleh LSM dan mitra perusahaannya. Sebagai tanggapan, LSM melakukan proses berbagi informasi partisipatif yang jauh lebih luas daripada yang direncanakan semula untuk memastikan bahwa masyarakat setempat memahami proyek tersebut. Upaya yang dilakukan oleh LSM meyakinkan banyak orang lokal yang tinggal di daerah tersebut, yang mulai melihat proses tersebut sah dan proyek sebagai pilihan terbaik mereka. Beberapa orang tidak ingin berpartisipasi dalam program karena masih percaya bahwa hak tanah mereka harus diakui, rumah tangga yang telah sepakat bahwa kontrak proyek konservasi diperbarui setiap tahun dan dukungan teknis diberikan untuk meningkatkan produksi kopi dengan imbalan yaitu nol deforestasi[6]. Usaha lebih untuk memastikan bahwa masyarakat lokal memahami proyek dan membuat masyarakat lokal merasa berpartisipasi dapat berkontribusi pada kesuksesan proyek.
Sebuah studi yang meneliti masyarakat pribumi di Loma Linda Laguna dan San Pedro de Pichanaz yang terlibat dalam Program Transfer Langsung Bersyarat Peru menemukan bahwa kurangnya penyebaran informasi antara subkomite pemantauan dan mereka yang tidak terlibat langsung pada kegiatan pemantauan. Anggota subkomite mengungkapkan bahwa mereka menahan informasi dari masyarakat luas untuk menghindari kebingungan. Selain itu, Program Konservasi Hutan Nasional hanya menyediakan kesempatan belajar dan pelatihan kepada anggota subkomite pemantauan. Akibatnya, pada majelis umum, mereka yang bukan merupakan anggota subkomite pemantauan tidak terbiasa dengan istilah dan konsep lingkungan yang digunakan oleh anggota subkomite pemantauan. Membatasi pembagian informasi dengan masyarakat luas dan pengembangan kapasitas yang tertutup dapat merusak keterlibatan dan kepercayaan antara masyarakat adat dan program transfer[7].
Di Indonesia, elemen paling umum dari inisiatif pendekatan yurisdiksi adalah pembentukan badan multipihak yang mendukung. Ketika forum-forum ini menjadi lebih umum, kurangnya kepercayaan di antara para pemangku kepentingan menghambat berfungsinya kelompok tersebut. Sering kali hal ini dikarenakan konflik sejarah masa lalu atas sumber daya alam.
Sebagai contoh, di Provinsi Riau, banyak organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan bahkan pejabat pemerintahan yang memusuhi perusahaan-perusahaan besar di sektor pulp dan kertas yang bertanggung jawab atas perusakan hutan dan lahan gambut skala besar dan konflik sosial yang terkait hingga saat ini. Terlepas dari keinginan mereka untuk berkontribusi pada inisiatif pendekatan yurisdiksi di provinsi tersebut, perusahaan-perusahaan tersebut pada awalnya tidak diterima dalam proses multistakeholder yang sekarang sedang berlangsung.
Demikian pula yang terjadi di Provinsi Papua Barat dan Papua, kerjasama antara kelompok masyarakat sipil terhambat oleh perbedaan pendekatan strategis. Meskipun Deklarasi Manokwari berkomitmen untuk melindungi hutan dan hak-hak adat, kelompok konservasi cenderung memprioritaskan pencari perlindungan resmi untuk kawasan hutan yang tersisa untuk melindungi mereka dari koncersi menjadi perkebunan skala komersial.
Kelompok-kelompok yang berorientasi pada hak curiga terhadap upaya-upaya tersebut, dan beranggapan bahwa pengakuan hak-hak masyarakat adat atas wilayah-wilayah tersebut perlu dipastikan terlebih dahulu. Kurangnya kepercayaan di antara berbagai elemen masyarakat sipil mungkin telah berkontribusi pada terbatasnya integrasi agenda hak-hak masyarakat adat ke dalam praktik pendekatan yurisdiksi di Indonesia[8]. Membangun kelompok dan forum bagi para pemangku kepentingan untuk berinteraksi hanyalah sebuah Langkah awal. Membangun dan memupuk kepercayaan di antara berbagai kelompok pemangku kepentingan sangat penting untuk melihat kemajuan nyata.
Pembagian informasi dan transparansi bukanlah masalah dalam proyek REDD+ di desa Nomedjoh di Kamerun, sebagian besar berkat upaya tokoh-tokoh otoritas setempat, yang membantu dalam pengungkapan informasi tentang kegiatan proyek selama proses FPIC. Narasumber memuji pendeta setempat karena membantu mengisi kesenjangan informasi dan meningkatkan hak-hak penduduk setempat serta tujuan proyek. Hal ini tampaknya terutama berlaku mengingat sebagian besar penduduk desa adalah buta huruf. Studi kasus ini menyoroti peran penting yang dapat dimainkan oleh tokoh-tokoh otoritas setempat dalam membantu menyebarkan informasi tentang proyek REDD+ kepada masyarakat luas (Tegegne et al. 2021).
Kolaborasi multistakeholder
Kolaborasi antara pemangku kepentingan di pemerintah dan non-pemerintah dipandang sebagai elemen desain yang krusial dari mekanisme pembagian manfaat dalam REDD+.
Ketika sebuah proses melibatkan banyak pemangku kepentingan, proses tersebut memperdalam kolaborasi dan masukan teknis, menguatkan mekanisme komunikasi, mendukung pengembangan kapasitas dan memastikan pemahaman berbagai perspektif, dengan demikian menambah kelalaian.
Proses multistakeholder juga dilihat sebagai peningkatan kesetaraan dalam hal partisipasi, serta memastikan distribusi biaya dan manfaat yang adil dan penegakan hak-hak pemangku kepentingan. Memberikan para pemangku kepentingan kemampuan dan kekuatan untuk berpartisipasi secara bermakna dalam program REDD+ dan membentuk rancangan dan hasil membawa peningkatan legitimasi, dan yang penting dalam meningkatkan penerimaan terhadap suatu proses.
Sebuah studi yang menguji komunitas adat di Loma Linda Laguna dan San Pedro de Pichanaz yang terlibat dalam Program Transfer Langsung Bersyarat Peru menemukan kurangnya penyebaran informasi antara subkomite pemantauan dan mereka yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan pemantauan. Anggota subkomite pemantauan mengungkapkan bahwa mereka menahan informasi dari masyarakat secara umum untuk menghindari kebingungan. Selain itu, Program Konservasi Hutan Nasional hanya menyediakan kesempatan pembelajaran dan pelatihan bagi anggota subkomite pemantauan. Akibatnya, pada pertemuan komunal, anggota non-subkomite pemantauan tidak akrab dengan istilah dan konsep lingkungan yang digunakan oleh anggota subkomite pemantauan. Keterbatasan berbagi informasi dengan masyarakat secara luas dan kesempatan pembangunan kapasitas yang tertutup dapat menghancurkan keterlibatan dan kepercayaan antara komunitas adat secara keseluruhan dengan program transfer tersebut (Kowler et al. 2020[9]).
Di Indonesia, elemen umum dari inisiatif pendekatan yurisdiksi adalah pendirian badan multipihak yang mendukung. Meskipun forum-forum ini semakin umum, salah satu hambatan dalam fungsi efektif dari beberapa kelompok tersebut adalah kurangnya kepercayaan antara pemangku kepentingan yang berbeda. Seringkali, hal ini disebabkan oleh warisan sejarah konflik yang terjadi terkait sumber daya alam. Sebagai contoh, di provinsi Riau, banyak organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan bahkan pejabat pemerintah memiliki animositas terhadap perusahaan-perusahaan besar di sektor bubur kertas dan kertas yang bertanggung jawab atas kerusakan hutan dan gambut dalam skala besar serta konflik sosial terkaitnya hingga baru-baru ini. Meskipun mereka menyatakan keinginan mereka untuk berkontribusi pada inisiatif pendekatan yurisdiksi di provinsi tersebut, perusahaan-perusahaan tersebut pada awalnya tidak disambut dalam proses multipihak yang sedang berlangsung.
Demikian pula, di provinsi Papua Barat dan Papua, kerjasama antara kelompok masyarakat sipil telah terhambat oleh perbedaan dalam pendekatan strategis. Meskipun Deklarasi Manokwari berkomitmen untuk melindungi hutan dan hak-hak masyarakat pribumi, kelompok-kelompok konservasi cenderung memprioritaskan upaya perlindungan resmi untuk area hutan yang tersisa guna melindunginya dari konversi menjadi perkebunan skala komersial. Kelompok yang berorientasi pada hak-hak masyarakat pribumi melihat upaya tersebut dengan curiga, dengan bersikeras bahwa pengakuan terhadap hak-hak masyarakat pribumi terhadap area-area tersebut harus dijamin terlebih dahulu. Secara lebih luas, kurangnya kepercayaan di antara elemen-elemen yang berbeda dalam masyarakat sipil mungkin telah berkontribusi pada integrasi terbatas dari agenda hak-hak masyarakat pribumi ke dalam praktik pendekatan yurisdiksi di Indonesia (Seymour et al. 2020). Membangun kelompok dan forum untuk interaksi pemangku kepentingan adalah langkah pertama; membangun dan memelihara kepercayaan di antara kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang berbeda sangat penting untuk melihat kemajuan nyata.
Peran pemerintah daerah
Perwakilan warga terdekat adalah pemerintah daerah mereka, yang mungkin ada di berbagai tingkatan, seperti desa, kecamatan, atau kabupaten, bergantung pada negaranya.
Dalam berbagai konteks, pemerintahan daerah memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat, baik yang memiliki kekuatan hukum atau tanggung jawab atas hutan atau lahan. Dalam negara demokrasi, otoritas ini memiliki mandat untuk mewakili dan merespons kebutuhan konstituen. Oleh karena itu, mereka tidak boleh diabaikan oleh inisiatif REDD+.
Partisipasi warga pada pengambilan keputusan pemerintah daerah di Tanzania telah ditingkatkan
oleh amendemen Undang-Undang Pemerintah Daerah (Otoritas Distrik) tahun 1982. Undang-undang mengarahkan dewan untuk mengatur dengar pendapat publik bagi orang-orang untuk menanyai para pemimpin politik. Undang-undang juga memberikan wewenang bagi dewan untuk membentuk jenis layanan khusus yang terbuka untuk semua warga negara di wilayah tersebut, memberikan kesempatan untuk mempengaruhi penyediaan layanan. Pembuatan anggaran partisipatif telah diizinkan oleh penganggaran dari bawah ke atas melalui komite pembangunan lingkungan, dan telah menjadi sarana untuk meningkatkan partisipasi warga, dengan lebih banyak pemerintahan desa yang lebih besar melalui peningkatan partisipasi lokal, akuntabilitas, dan transparansi[10]. Meskipun ketentuan seperti ini tidak jarang terjadi di negara-negara REDD+, inisiatif REDD+ sangat bervariasi dalam keterlibatannya dengan pemerintah daerah.
Pada kasus REDD+ di Ucayali, Peru, pelopor proyek menciptakan “Organisasi Perwakilan” yang terdiri atas otoritas masyarakat adat untuk menghindari urusan langsung dengan masyarakat yang lebih luar. Masyarakat setuju karena organisasi perwakilan ini dapat memberikan mereka suara yang akan didengar oleh para pelopor proyek. Solusi ini efisien untuk para pelopor proyek, tetapi hampir tidak efektif bagi masyarakat karena mereka melihat masukan dan perspektif mereka disaring melalui kelompok kecil yang memiliki sedikit kekuatan pengambilan keputusan dan berjuang untuk mengomunikasikan proyek teknis kepada petani lokal yang mereka wakili[11]. Organisasi perwakilan perlu diberikan kekuatan pengambilan keputusan dan pelatihan kapasitas sehingga mereka mampu dan memiliki sarana untuk memengaruhi perubahan dalam kelompok, apalagi jika organisasi perwakilan tersebut merupakan bagian dari kelompok yang terpinggirkan.
Di Indonesia, sebuah platform baru untuk Kabupaten Hijau muncul pada tahun 2017 ketika
delapan kabupaten di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi bersatu untuk membentuk Meja Bundar untuk Kabupaten Berkelanjutan atau Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL). Tujuan LTKL adalah menyediakan sebuah platform untuk mendukung pembelajaran silang antarkabupaten yang memiliki visi keberlanjutan dan untuk membangun sistem pendukung untuk mengimplementasikan visi tersebut. Pada acara pertemuan umum, kabupaten anggota menyatakan komitmen mereka dan berbagi wawasan dan pelajaran mengenai bagaimana memajukan tujuan kelestarian lingkungan[12]. Karena pertukaran informasi terjadi di antara kabupaten –tingkat pemerintahan dengan akses paling dekat dengan masyarakat lokal– platform ini memunhkinkan prioritas pemerintah daerah dan konstituen mereka untuk diingat[13], dengan kebutuhan konstituen yang ditangani secara lebih langsung daripada di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi (misalnya, negara bagian, provinsi, nasional).
Komunitas yang terlibat dalam desain dan implementasi
Konsensus dan konsultasi mungkin lebih dibutuhkan daripada uang tunai untuk membuat REDD+ berhasil.
Salah satu tantangan terbesar untuk negara uang ingin mengimplementasikan kegiatan REDD+ adalah mengembangkan struktur kelembagaan yang tepat untuk mendistribusikan manfaat moneter dan non-moneter secara efektif, efisien, dan adil. Agar REDD+ dan PES menjadi efektif, pertanyaan kuncinya adalah bagaimana manfaat dapat didistribusikan secara adil. Pembagian manfaat harus dianggap adil oleh para pemangku kepentingan –jumlah orang yang mendapatkan kompensasi atas upaya mereka dan bagaimana manfaat didistribusikan– atau hal tersebut akan mengancam legitimasi dan dukungan untuk suatu program. Bahkan Ketika pembayarannya rendah, orang masih merasa puas jika legitimasi tercapai.
Memperluas keterlibatan partisipan lokal dalam desain dan pengawasan inisiatif REDD+ dapat meningkatkan dukungan lokal.
Di Vietnam, meskipun banyak proyek dan program REDD+ yang bertujuan untuk menerapkan pendekatan peka gender dalam mengalokasikan manfaat REDD+, sedikit upaya yang telah dilakukan untuk memastikan perempuan memiliki suara dalam mengidentifikasi manfaat yang mereka inginkan dan bagaimana mereka ingin menerima. Sejumlah perempuan telah berpartisipasi pada proses REDD+ di Vietnam, tetapi partisipasi mereka dibatasi pada konsultasi, dan gagal memengaruhi kebijakan yang akan keluar. Keterlibatan perempuan harus dipromosikan secara serius, bukan hanya untuk memenuhi kuota. Karena Vietnam telah memiliki banyak perempuan kritis yang bekerja pada isu-isu hutan di tingkat nasional, perlu adanya kebutuhan untuk mendukung pemberdayaan mereka dan membangun kapasitas mereka, sehingga mereka dapat menjadi pejabat dan pembangkit perubahan[14]. Partisipasi harus dilihat sebagai proses sosial yang berkelanjutan dan terbuka, bukan sebagai hasil yang dapat diselesaikan.
Program Alokasi Lahan Hutan (Forest Land Allocation atau FLA) Vietnam memberikan kepastian kepemilikan bagi pengguna lahan dan bertujuan untuk menyerahkan hak hutan pada masyarakat lokal dan individu untuk mendorong perlindungan dan pembangunan hutan lokal di daerah perdesaan berhutan[15]. Bagaimana program ini dipersepsikan bergantung pada siapa Anda berbicara. Ketika pemerintah daerah di Vietnam memiliki persepsi bahwa FLA akan berhasil dalam membatasi praktik perladangan berpindah, masyarakat lokal menganggap program tersebut menjadi beban berat bagi pencarian mereka, sedangkan kompensasi yang diberikan tidak mencukupi[16]. Kurangnya partisipasi lokal dalam pengambilan keputusan dan konsensus menghambat program dan pembagian keuntungannya mengabaikan kebutuhan masyarakat lokal. Sebuah studi menemukan meski pendekatan kesetaraan pembayaran memenuhi interpretasi masyarakat lokal tentang “kesetaraan”, hal itu mengabaikan aspek penting lainnya dari apa yang mungkin dianggap adil. Proyek di masa depan harus mempromosikan keterlibatan masyarakat lokal yang lebih baik dalam pengambilan keputusan untuk memasukkan interpretasi lainnya mengenai kesetaraan dalam masyarakat karena hal ini dapat menghasilkan dukungan yang lebih besar. Konsensus dan konsultasi mungkin dapat mengarahkan pada peningkatan proyek dalam bentuk penyesuaian pembayaran yang didasari oleh upaya, dengan mereka yang terlibat dalam keguatan perlindungan hutan menerima pembayaran yang lebih tinggi sebagai kompensasi; memperhitungkan pencapaian masa lalu yang dicapai olehmasing-masing pengelola lahan dan hutan dalam menyediakan jasa ekosistem; dan menghormati preferensi penduduk lokal dalam pembayaran untuk menghindari kemungkinan penangkapan elit[17].
Di Vietnam, saat FPIC diaplikasikan untuk menngkatkan partisipasi perempuan dalam proses kebijakan REDD+, hanya sedikit pertimbangan yang diberikan pada heterogenitas masyarakat. Hal ini menjadi jelas selama konsultasi di mana diskusi didominasi oleh pria yang lebih tua dan blak-blakan, peserta dibujuk untuk menyetujui tanpa sepenuhnya memahami REDD+ dan lokasi dan waktu pertemuan tidak cocok untuk banyak wanita. Meskipun sistem pembagian manfaat Vietnam memandatkan non-diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya, termasuk masyarakat adar, sistem tersebut gagal untuk memastikan massa perempuan yang kritis untuk secara akuran mewakili pandangan dan kepentingan mereka[18]. Pertimbangan yang cermat harus diambil untuk mempertimbangkan heterogenitas di antara dan di dalam masyarakat karena undang-undang saja terbukti tidak cukup.
Di Meksiko, sebuah program dikenalkan pada tahun 2018 yang disebut sebagai Sembrando Vida (Menanam Kehidupan) uang disambut dengan baik oleh dua komunitas yang diteliti. Program Sembrando Vida mendukung pembentukan sistem agroforestri yang dikombinasikan dengan budi daya milpa yang berlangsung selama lima tahun dan mencakup dukungan keuangan individu yang dicairkan setiap bulan (dianggap cukup untuk menutup biaya transaksi dan memberikan manfaat bersih). Selain itu, program ini memungkinkan partisipasi langsung dari non-pemegang hak dengan kontrak hasil atau secara tidak langsung, sebagai buruh harian. Namun, program ini beroperasi sevara independent dari kebijakan REDD+ nasional karena dijalanjan oleh Kementerian Kesejahteraan dan ditunjukkan untuk mencapai kesejahteraan sosial, tidak harus bertujuan mengenai karbon. Namun, penerimaan positif mengenai program ini menunjukkan bahwa penerimaan di masyarakat merupakan faktor penting dalam dukungan dan partisipasi program. Sebagai perbandingan, program REDD+ yang telah berlangsung pada dua komunitas masyarakat tidak didukung secara luas oleh anggota dikarenakan ketidaksesuaian dalam waktu manfaat dan penekanan yang berlebihan pada manfaat karbon sehingga merugikan peluang non karbon (misalnya, menghasilkan pendapatan[19].
[1] Kowler, L., Kumar Pratihast, A., Pérez Ojeda del Arco, A., Larson, A.M., Braun, C., Herold, M., 2020. Aiming for Sustainability and Scalability: Community Engagement in Forest Payment Schemes. Forests 11, 444.
[2] Pham TT, Tran NLD, Nong NKN and Nguyen DT. 2021. Mainstreaming gender in REDD+ policies and projects in 17 countries. Journal of Environmental Policy & Planning 23(6): 701-715.
[3],[4] Bee, B.A. and Basnett, S.B., 2017. Engendering social and environmental safeguards in REDD+: lessons from feminist and development research. Third World Quarterly 38, 787–804.
[5] DiGiano, M., Mendoza, E., Ochoa, M., Ardila, J., Oliveira de Lima, F., Nepstad, D., 2018. The Twenty-Year-Old Partnership Between Indigenous Peoples and the Government of Acre, Brazil.
[6] Myers, R., Larson, A.M., Ravikumar, A., Kowler, L.F., Yang, A., Trench, T., 2018. Messiness of forest governance: How technical approaches suppress politics in REDD+ and conservation projects. Global Environmental Change 50, 314–324.
[7] Kowler, L., Kumar Pratihast, A., Pérez Ojeda del Arco, A., Larson, A.M., Braun, C., Herold, M., 2020. Aiming for Sustainability and Scalability: Community Engagement in Forest Payment Schemes. Forests 11(4):444.
[8] Seymour, F.J., Aurora, L., Arif, J., 2020. The Jurisdictional Approach in Indonesia: Incentives, Actions, and Facilitating Connections. Front. For. Glob. Change 3, 503326.
[9] Kowler, L., Kumar Pratihast, A., Pérez Ojeda del Arco, A., Larson, A.M., Braun, C., Herold, M., 2020. Aiming for Sustainability and Scalability: Community Engagement in Forest Payment Schemes. Forests 11, 444.
[10] Kesale, A.M., 2017. Selected experiences of the use of the village assembly in the governance at the grassroots levels in Ludewa district council in Tanzania. Journal of Public Administration and Governance, 7(2), pp.1-11.
[11] Myers R, Larson AM, Ravikumar A, Kowler LF, Yang A, Trench T. 2018. Messiness of forest governance: How technical approaches suppress politics in REDD+ and conservation projects. Global Environmental Change 50:314-324.
[12] Boyd WI, Stickler CL, Duchelle AE, Seymour FR, Nepstad DA, Bahar NH, Rodriguez-Ward DA. 2018 Jurisdictional approaches to REDD+ and low emissions development: Progress and prospects. Washington, DC: World Resources Institute.
[13] Seymour, F., Aurora, L., 2019. Moving Forward with the Jurisdictional Approach in Indonesia: Update for JA Proponents.
[14] Pham, T.T., Mai, Y.H., Moeliono, M., Brockhaus, M., 2016. Women’s participation in REDD+ national decision-making in Vietnam. Int. Forest. Rev. 18, 334–344.
[15] Trung LQ, Phuong VT, Yang AL and Hai VD. 2015. The distribution of powers and responsibilities affecting forests, land use, and REDD+ across levels and sectors in Vietnam: A legal study. Occasional Paper 137. Bogor, Indonesia: CIFOR.
[16] Pham, T.T., 2013. Payments for forest environmental services in Vietnam from policy to practice. CIFOR, Bogor
[17] Wong, G.Y., Loft, L., Brockhaus, M., Yang, A.L., Pham, T.T., Assembe-Mvondo, S., Luttrell, C., 2017. An Assessment Framework for Benefit Sharing Mechanisms to Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation within a Forest Policy Mix: Assessment Framework for REDD+. BSM Env. Pol. Gov. 27, 436–452.
[18] Pham, T.T., Mai, Y.H., Moeliono, M., Brockhaus, M., 2016. Women’s participation in REDD+ national decision-making in Vietnam. Int. Forest. Rev. 18, 334–344.
[19] Špirić, J., Merlo Reyes, A.E., Ávalos Rodríguez, Ma.L., Ramírez, M.I., 2021. Impacts of REDD+ in Mexico: Experiences of Two Local Communities in Campeche. SyA 1–33.