Efisiensi (Efektivitas Biaya)
Efisiensi mengacu pada biaya relatif setiap opsi untuk mencapai hasil.
Mengingat keterbatasan sumber daya proyek dan anggaran, agar efisien, kegiatan untuk mendukung pencapaian tujuan REDD+ harus dilaksanakan secara tepat waktu dan hemat biaya. Kegiatan harus dapat mengurangi biaya transaksi dan operasional baik tingkat kebijakan maupun proyek, seperti penentuan manfaat sesuai tujuan mekanisme pembagian manfaat atau dengan menggunakan sistem geografis spasial untuk menempatkan proyek-proyek REDD+ di wilayah geografis dengan potensi dampak positif tertinggi.
Di Tanzania, Proyek REDD+ tidak harus terletak di daerah dengan kecocokan yang tinggi. Hal ini mempengaruhi efisiensi atau efektivitas biaya untuk memenuhi tujuan proyek REDD+. Sebuah studi yang menggunakan GIS mengidentifikasi daerah potensial untuk REDD+ di daerah dengan biodiversitas tinggi dan angka kemiskinan tinggi melalui kriteria “penargetan yang efisien” seperti kandungan karbon hutan yang tinggi, risiko deforestasi yang tinggi dan kemungkinan biaya rendahDengan proyek REDD+, jasa lingkungan utama yang perlu dipertimbangkan adalah stok karbon hutan atau emisi karbon yang dihindari dengan tidak melakukan deforestasi. Semakin tinggi densitas karbon hutan, semakin tinggi pula area tersebut diprioritaskan untuk REDD+. Jadi tujuannya adalah meminimalkan biaya peluang per unit emisi karbon hutan yang tidak terjadi, di mana emisi karbon yang dihindari merupakan fungsi dari densitas karbon dan ancaman deforestasi. Dalam mengidentifikasi daerah berisiko tinggi deforestasi yang melindungi karbon hutan dengan biaya terendah, para peneliti menemukan bahwa lokasi proyek tidak cocok dengan lanskap paling cocok untuk penargetan yang efisien.
Salah satu alasan banyaknya proyek berada di luar kawasan yang paling cocok adalah karena proyek tersebut berfokus pada degradasi hutan atau peningkatan stok karbon hutan dan bukan deforestasi. Mungkin juga pelaku proyek memiliki informasi yang lebih baik tentang ancaman deforestasi dan kemungkinan mitigasi ancaman tersebut di tempat tertentu.
Mengidentifikasi dan memetakan lanskap yang optimal untuk penempatan proyek REDD+ menggunakan GIS dapat membantu pembuat kebijakan, penyandang dana, dan pelaku proyek untuk mempertimbangkan berbagai kriteria yang mencerminkan ekspektasi yang beragam dari REDD+. Penggunaan metode ini dapat meningkatkan peluang pengurangan emisi karbon hutan secara efektif dari segi biaya[1].
Di seluruh Indonesia, pencegahan perluasan deforestasi di lahan gambut dan menekan degradasi hutan yang disebabkan penebangan kayu merupakan peluang pengurangan emisi yang sangat hemat biaya. Sebuah studi menemukan bahwa untuk mencapai target pengurangan rendah emisi sebesar 25%, pendanaan harus menargetkan deforestasi di kawasan yang dilindungi dan di konsesi kelapa sawit dan kayu agar pengurangan emisi maksimal dengan biaya kumulatif terendah. Namun, untuk mencapai target pengurangan emisi sebesar 75%, para peneliti mengalokasikan dana pada semua strategi, karena tidak ada satu pun strategi yang dapat mengurangi emisi dengan biaya yang efektif di seluruh Indonesia.
Para peneliti menggunakan analisis spasial untuk menilai variasi dalam biaya dan manfaat karbon dari berbagai strategi REDD+ di Indonesia dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong efektivitas biaya strategi REDD+ untuk mengurangi satu metrik ton karbon dan untuk mencapai target emisi menggunakan peta stok karbon, tutupan hutan, lahan gambut dan kesesuaian tanaman pada kelapa sawit, kayu dan izin penebangan, kawasan dilindungi, dan lahanterdegradasi.
Penentuan target spasial untuk mengidentifikasi lokasi dengan prioritas tertinggi untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, memungkinkan alokasi sumber daya REDD+ yang efektif di seluruh Indonesia. Demikan pula kawasan prioritas untuk investasi dapat ditentukan lebih mudah. Jenis analisis spasial ini dapat menginformasikan perencanaan tata guna lahan secara multidisiplin dan memandu implementasi pelaksanaan nasional dan regional menuju kawasan prioritas untuk mencegah kehilangan karbon hutan secara efisien melalui REDD+[2].
Biaya produksi dan biaya peluang
Proyek-proyek REDD+ biasanya dibangun di daerah dengan nilai ekonomi atau produksi tinggi. Untuk meyakinkan pemangku kepentingan dan memperoleh persetujuan, pelaku proyek harus mempertimbangkan manfaat dan biaya bagi peserta agar proyek lebih diterima.
Dua proyek REDD+ di wilayah Lindi di Tanzania, yaitu TFCG/Mjumita “membuat REDD+ bekerja untuk komunitas dan konservasi hutan di Tanzania” dan proyek REDD+ cagar Hutan Lahan Desa Angai (the Angai Village Land Forest Reserve atau AVLFR), menyoroti sulitnya mengatasi biaya peluang dan menciptakan kegiatan yang menghasilkan pendapatan alternatif yang sukses dan berkelanjutan.
Proyek tersebut memberikan pembayaran karbon kepada para peserta, yang meskipun banyak diminati ternyataterlalu rendah untuk secara signifikan berdampak pada kemiskinan atau kerentanan. Selain itu, biaya peluang untuk melindungi hutan cukup mahal (berkisar dari 10 dolar AS hingga 20 dolar AS per metrik ton karbon) sehingga hanya masalah waktu sampai penduduk kembali mengubah hutan menjadi pertanian. Tekanan terhadap perlindungan hutan meningkat karena meningkatnya permintaan lahan pertanian dan kenaikan harga tanaman komersial, seperti wijen dan kacang mete.
Selain pembayaran karbon, pelaku proyek menjanjikan mata pencarian alternatif sebagai kompensasi untuk perlindungan hutan, tetapi strategi mata pencarian alternatif ternyata tidak mudah. Usaha memperkenalkan peternakan lebah, pertanian konservasi, peternakan kupu-kupu, pertanian sayuran, dan pengembangan lahan kayu secara umum kurang memuaskan. Masyarakat peserta proyek REDD+ TFCG/Mjumita, mengangkat sejumlah kekhawatiran mengenai relevansi dan kualitas dukungan untuk kegiatan yang menghasilkan pendapatan, seperti dukungan teknis dan jasa konsultasi dalam peternakan lebah dan peternakan unggas, yang memiliki keberhasilan yang sangat terbatas. Pemeliharaan unggas dihentikan oleh proyek karena kinerjanya yang buruk dan hubungan yang terbatas dengan tujuan deforestasi yang luas. Akhirnya, di kedua desa, proyek REDD+ gagal menjual kredit karbon melalui pasar.
Mengingat tingginya biaya peluang perlindungan hutan, kegagalan untuk menghasilkan kepastian jangka panjang pembayaran berbasis kinerja serta kegagalan proyek-proyek penciptaan pendapatan alternatif, kemungkinan besar penduduk akan kembali ke praktik penggunaan lahan sebelumnya.
Biaya transaksi
Ada perbedaan jenis biaya terkait pelaksanaan REDD+ di suatu negara, yang bisa disebabkan oleh birokrasi (mandat kementerian yang tumpang tindih, peraturan yang bertentangan) atau perbedaan prioritas tujuan REDD+.
Ada banyak peraturan yang mengatur pelaksanaan REDD+, akan tetapi, peraturan yang dikeluarkan oleh satu kementerian cenderung hanya mengikat kementerian tersebut dan diabaikan oleh kementerian lain. Karena banyak kementerian yang terlibat, koordinasi cenderung menjadi rumit dengan biaya transaksi yang tinggi. Pada tingkat nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membentuk Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, sementara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mempromosikan pembangunan hijau dan bertanggung jawab atas Kontribusi Nasional untuk Emisi Perubahan Iklim. Meskipun keduanya berusaha terus menerus untuk bersinergi, penekanan yang berbeda antara tugas masing-masing membatasi pelaksanaan mitigasi atau adaptasi perubahan iklim yang lebih efektif dan efisien. Sementara itu, masih ada kebutuhan untuk secara efektif mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan melalui klarifikasi peran dan kolaborasi lembaga pemerintah dan kepentingan swasta dalam pelaksanaan proses pasar[3].
Satu studi yang membandingkan biaya transaksi untuk percontohan REDD+ di RDS Rio Negro di negara bagian Amazonas di Brasil, dan Kilosa di Tanzania, menemukan bahwa struktur pemerintahan yang berbeda dapat menghasilkan biaya transaksi yang berbeda. Biaya unit yang lebih tinggi –biaya per ton untuk pengurangan CO₂– untuk membangun struktur pemerintahan lebih tinggi di Kilosa (1,7 dolar AS hingga 1,9 dolar AS per ton dibandingkan dengan 0.5 dolar AS hingga 0,6 dolar AS di RDS Rio Negro). Biaya unit menggunakan struktur tersebut lebih tinggi di RDS Rio Negro (antara 0,9 dolar AS dan 6,4 dolar AS dibandingkan dengan 0,3 dolar AS dan 2,0dolar AS per ton dari perkiraan CO₂ yang diserap di Kilosa).
Variasi biaya dari kedua percontohan berasal dari perbedaan jenis transaksi yang dilakukan. Contohnya, pemerataan distributif adalah tujuan kebijakan utama untuk proyek REDD+ di Brasil. Pemerintah negara bagian Amazonas bertujuan untuk mengatasi keterbelakangan sosial masyarakat di Amazon sehingga program di Rio Negro didirikan sebagai program pengembangan sosial dan konservasi tanpa tujuan memperdagangkan karbon.
Program dengan focus pembangunan membutuhkan sumber daya manusia yang luas di pendidikan, kesehatan, manajemen hutan dan perkembangan anak, berdampak pada biaya transaksi. Masyarakat juga harus dilatih dalam berbagai investasi sosial. Akibatnya, biaya per unit penggunaan struktur pemerintahaan di RDS Rio Negro membengkak.
Sebaliknya, Kilosa memiliki fokus yang lebih sempit pada karbon, dan dengan demikian, implementasi REDD+ membutuhkan lebih sedikit staf dengan pengetahuan spesifik mengenai pengukuran karbon, manajemen yang kooperatif dan membangun penghasilan alternatif. Perbedaan ini menurunkan unit menggunakan biaya di Kilosa. Karena REDD+ di Kilosa utamanya mengaradiarahkan pada pengaturan transaksi ekonomi dan menempatkan proyek percontohan sebagai peserta di pasar karbon global, yang dibutuhkan lebih berupa proses politik dan masyarakat sipil untuk menentukan siapa yang memiliki karbon, bagaimana kinerja harus dipantau dan diverifikasi dan bagaimana pembayaran harus dilakukan. Hal ini membutuhkan penetapan hak milik, persiapan data dasar, dan pembangunan koperasi karbon yang mengarahkan biaya unit yang lebih tinggi.
[1] Lin, L., Sills, E., Cheshire, H., 2014. Targeting areas for Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD+) projects in Tanzania. Global Environmental Change 24, 277–286.
[2] Graham, V., Laurance, S.G., Grech, A. and Venter, O. 2017. Spatially explicit estimates of forest carbon emissions, mitigation costs and REDD+ opportunities in Indonesia. Environmental Research Letters 12.
[3] Boer, H.J., 2018. The role of government in operationalising markets for REDD+ in Indonesia. For. Policy Econ., 86, 4-12.