Reformasi hak dan tenurial: apa masalah hukum yang perlu diselesaikan?
Masalah hukum seputar hak dan penguasaan hutan sangat banyak, beragam, dan kompleks.
Membangun pondasi tenurial yang jelas dan aman sangat penting untuk memenuhi tujuan mitigasi perubahan iklim dari REDD+ dan untuk melindungi mata pencarian dan hak para pemangku kepentingannya. Meskipun pondasi sudah terbangun, masih banyak yang harus dilakukan. Kesepakatan perubahan iklim global melalui Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) akan memberikan motivasi yang kuat untuk mendorong tenurial lahan. Sudah ada langkah ke arah yang benar: deklarasi para pemimpin tentang hutan dan penggunaan lahan, yang secara publik mengakui masyarakat pribumi dan komunitas lokal atau Indigenous Peoples and Local Communities (IPLC) sebagai aktor terbaik untuk melestarikan hutan dan keanekaragaman hayati, melibatkan komitmen USD 19,2 miliar yang ditujukan untuk melindungi dan merestorasi hutan, yang di antaranya sebanyak USD 1.7 milyar digunakan untuk mendukung IPLC. Mengingat waktu yang panjang dalam menyelesaikan masalah kepenguasaan hutan, sangat penting bagi negara-negara untuk terus bergerak maju. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan mencakup hal-hal berikut:
- Reformasi tenurial hutan;
- Hubungan antara tenurial hutan dan mekanisme penanganan keluhan;
- Partisipasi pemetaan oleh lembaga dalam pengambilan keputusan tata guna lahan nasional;
- Resolusi kontestasi yang lama antara klaim lahan hutan adat dan hukum;
- Tinjauan mengenai konsesi lahan hutan industri yang ada dan yang sedang direncanakan dengan mempertimbangkan rencana konversi hutan, aforestasi, reboisasi, dan REDD+ yang berjalan bersamaan;
- Klarifikasi atas hak karbon hutan.
Meskipun Program Pembayaran Jasa Hutan dan Lingkungan (PFES) di Vietnam memberikan banyak keuntungan untuk masyarakat miskin dan etnis minoritas, beberapa orang dari etnis Kinh menganggap program PFES saat ini tidak adil dan diskriminatif karena pedoman yang ada menghambat partisipasi mereka. Di bawah kebijakan saat ini, pemerintah Vietnam memprioritaskan alokasi lahan hutan dan manfaat terkait dengan hutan kepada masyarakat pribumi. Menurut wawancara dengan pemangku kepentingan, hal ini mempersulit etnis Kinh untuk berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari PFES. Masyarakat Kinh mengungkapkan bahwa meskipun tidak mendapat manfaat dari kebijakan saat ini, mereka tetap dimobilisasi untuk melindungi hutan desa ketika dibakar atau dirambah oleh orang luar. Peserta dalam diskusi kelompok terarah mengindikasikan bahwa mereka tidak merasa memiliki komitmen yang kuat terhadap perlindungan hutan karena mereka tidak memiliki kepemilikan tanah secara formal. Banyak dari mereka yang mengakui hanya berpatroli di hutan pada hari-hari ketika dibayar dan mengklaim bahwa pihak berwenanglah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan berpatroli pada hari-hari tersisa. Hal ini menunjukkan bahwa saat program PFES di Vietnam membawa dampak ekonomi dan sosial yang positif bagi banyak peserta, fokus program yang hanya pada satu kelompok rentan telah melemahkan dan mengurangi insentif bagi kelompok sosial lain untuk bergabung. Reformasi penguasaan hutan yang memperluas lahan kepada mereka yang bertanggung jawab untuk melindungi hutan dapat memobilisasi sumber daya yang lebih besar dan dukungan terhadap perlindungan hutan[1].
Hutan yang ingin dilindungi oleh REDD+, tidak hanya terancam dari pemangku kepentingan lokal, tetapi dalam banyak kasus dari para pengklaim eksternal atas hutan lokal. Pihak luar ini dapat berupa penduduk desa tetangga, migran musiman, pendatang, peternak, dan berbagai jenis perusahaan industri (misalnya, kedelai di Brasil dan kelapa sawit di Indonesia).
Studi Komparatif Global tentang REDD+ oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (GCS REDD+) mengamati 71 desa di lima negara. Studinya menemukan bahwa di hampir dua pertiga desa terdapat pemanfaatan hutan oleh pihak luar dengan hampir seperlima desa tidak berhasil untuk menyingkirkan orang luar.
Hak eksklusi sangat penting untuk ditegakkan karena seluruh gagasan REDD+ tidak hanya bertumpu pada insentif, tetapi juga sarana hukum untuk melindungi hutan dari pihak luar. Hak eksklusi ini juga pentung untuk melindungi mata pencarian lokal. Hak eksklusi dapat ditentukan melalui instrumen seperti hak legal untuk petani kecil dan melalui kategori kepenguasaan, seperti hutan desa dan Konsesi Restorasi Ekosistem atau Ecosystem Restoration Concessions (ERC) di Indonesia dan dapat digunakan untuk menangkis klaim industr[2].
Undang-Undang Perlindungan dan Pembangunan Hutan Vietnam 2004 digantikan oleh UndangUndang Kehutanan tahun 2017 yang baru, yang meningkatkan peran, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawab semua lembaga pemerintah Vietnam untuk pengelolaan hutan. Di bawah undang-undang baru, ada penekanan yang lebih kuat pada kebutuhan perlindungan hutan alami dan, untuk pertama kalinya, pengakuan atas hutan keramat dan adat dan kebutuhan untuk menghormatinya. UU 2017 juga mempromosikan prioritas partisipasi masyarakat lokal dan kelompok etnis minoritas, rumah tangga, individu, dan komunitas masyarakat dengan adat, tradisi, budaya, kepercayaan, dan tradisi yang melekat pada hutan. Undang-undang baru ini merupakan sebuah langkah menuju pembentukan landasan tenurial yang jelas dan aman dengan memberikan klarifikasi yang lebih baik tentang kepemilikan hutan[3].
[2]Sunderlin, W. D., Larson, A. M., Duchelle, A. E., Resosudarmo, I. A. P., Huynh, T. B., Awono, A., et al. 2014. How are REDD+ proponents addressing tenure problems? Evidence from Brazil, Cameroon, Tanzania, Indonesia, and Vietnam. World Development, 55, 37–52.
[3]Pham, T.T., Hoang, T.L., Nguyen, D.T., Dao, T.L.C., Ngo, H.C., Pham, V.H., 2019. The context of REDD+ in Vietnam: Drivers, agents and institutions [2nd edition]. Center for International Forestry Research (CIFOR).