Bentuk tenurial hutan: negara, umum, swasta, tradisional
Bagaimana persepsi kepemilikan tanah?
Dalam banyak kasus, persepsi kepemilikan berbeda antar orang tergantung dengan siapa anda berbicara.
Pada tahun 1984, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya di Kalimantan, Indonesia menjalani penandaan batas baru. Ada berbagai cerita mengenai bagaimana konsultasi dengan desa-desa setempat dilakukan, tetapi kemungkinan skenario besar bahwa ada pertemuan dilakukan pada tahun 1985 di ibu kota Kabupaten Nanga Pinoh. Kepala desa diundang di pertemuan itu dan diberi tahu bahwa cagar alam akan melindungi hutan dari konsesi penebangan dan pembalakan liar yang berkembang pesat pada saat itu. Pemerintah memiliki dokumentasi yang menunjukkan tanda tangan kepala desa, tetapi responden dari desa melaporkan bahwa mereka tidak diinformasikan dengan tepat tentang keberadaan taman dan tidak memberikan persetujuan.
Saat ini, penduduk desa percaya bahwa batas Taman Nasional yang dipaksakan telah mencaplok lahan perkebunan karet mereka dan menghambat akses ke sumber daya alam. Untuk menanggapi keluhan penduduk desa tentang taman nasional, pemerintah telah menawarkan kompensasi untuk hilangnya peluang ekonomi. Namun, sebagian besar penduduk desa menolak menerimanya karena percaya bahwa menerima keuntungan moneter seperti itu akan melegitimasi keberadaan taman yang mereka tolak sejak awal. Sebaliknya, mereka menginginkan pengakuan atas klaim tanah adat mereka.
Proses desentralisasi di Indonesia telah meninggalkan pengelolaan taman nasional berada pada kewenangan pusat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Akibatnya, pemerintah kabupaten dan kecamatan, yang lebih bertanggung jawab langsung kepada penduduk lokal yang memilih mereka, tidak cukup diberdayakan untuk mengajukan klaim adat lokal tersebut kepada otoritas yang lebih tinggi. Dengan absennya perwakilan resmi pemerintah atas klaim-klaim ini, termasuk penolakan terhadap pengaturan pembagian manfaat yang diusulkan, penduduk desa beralih ke lembaga swadaya masyarakat (LSM) hak-hak masyarakat adat untuk memajukan klaim mereka dan mencapai hasil yang mereka inginkan[1].
Di Indonesia, undang-undang baru tentang pemerintahan desa (UU No. 6/2014) memberikan otonomi kepada desa untuk mengelola aset mereka, termasuk hutan milik desa. Namun, undang-undang Kehutanan menetapkan kewenangan negara atas semua hutan di tingkat nasional dan tidak jelas sampai sejauh mana hutan negara dalam kawasan desa merupakan aset desa. Dalam praktiknya, hak-hak desa untuk pemanfaatan hasil hutan utama secara eksklusif dari hutan di sekitarnya biasanya telah diakui secara de facto. Banyak dan kompleksnya undang-undang serta peraturan yang saling bertentangan terkait dengan penggunaan lahan lokal menjadi masalah yang sulit dalam mengikuti prosesnya. Hal itu mengurangi motivasi pengelola hutan untuk memperbaiki tata kelola hutan dan memberdayakan masyarakat lokal[2].
[2]Moeliono, M., Pham, T.T., Bong, I.W., Wong, G.Y., Brockhaus, M., 2017. Social Forestry – why and for whom? A comparison of policies in Vietnam and Indonesia. FS 1, 1.