Riset Terbaru Sajikan “Referensi Kredibel Umum” Reduksi Emisi Lahan Basah
(BOGOR, 28 Mei 2024)—Para ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF) mempublikasikan sebuah peneltian yang mempertajam pelaporan emisi ekosistem lahan basah kaya karbon.
Dalam upaya berbagai negara meningkatkan efektivitas reduksi emisi di bawah Perjanjian Paris – dan mengembangkan kepercayaan dari skema pendanaan iklim lebih luas – tingkat baseline emisi/serapan dan pelaporan harus setransparan dan seakurat mungkin.
Dalam konteks Indonesia, ini berarti upaya menelaah lebih dekat lagi kekayaan hutan lahan gambut dan mangrove tropis kaya karbon, yang merupakan wilayah terluas di dunia – dan saat ini menyerap total sekitar 31,2 gigaton karbon. Sekitar 60% target reduksi emisi nasional Indonesia pada 2030 bergantung pada mitigasi sektor Hutan dan Pemanfaatan Lahan Lain (FOLU). Meskipun, pada saat ini emisi nasional terus bertambah, dan sektor ini berkontribusi sekitar 50%.
Oleh karena itu, melindungi dan merestorasi mangrove dan lahan gambut harus menjadi prioritas utama untuk upaya reduksi emisi. Meski deforestasi di kedua lanskap ini melambat pada dua dekade terakhir, pencegahan lebih lanjut terhadap deforestasi dan degradasi reservoir karbon tinggi ini sangat penting untuk mencapai target ambisius Penyerapan Bersih FOLU pada tahun 2030.
“Lahan gambut dan mangrove kaya karbon merupakan ekosistem kunci yang harus dikelola dalam strategi mitigasi berbasis lahan,” kata Daniel Murdiyarso, ilmuwan utama CIFOR-ICRAF dan penulis utama laporan.
Hal ini berarti bahwa Indonesia memiliki kebutuhan khusus untuk inventori gas rumah kaca (GHG) dengan tingkat akurasi yang tinggi dan meningkatkan level emisi rujukan hutan nasional (FREL) untuk ekosistem tersebut – sebuah kebutuhan yang belum sepenuhnya teratasi hingga saat ini. “Meski Indonesia bergerak dari menggunakan faktor emisi dasar (EF) Tier 1 IPCC lahan gambut dikeringkan pada FREL 2016 ke Tier 2 EF pada FREL 2022, penyusunannya tidak mengikuti panduan IPCC – sehingga berimplikasi signifikan bagi penghitungan GHG,” kata Kristell Hergoualc’h, penulis anggota dan ilmuwan senior CIFOR-ICRAF.
Dalam konteks ini, tim riset mengeksplorasi tantangan dan kesenjangan ilmiah dalam mengembangkan tier tinggi dan mempertajam faktor emisi Indonesia pada lahan gambut dikeringkan dan dibasahi kembali, kebakaran gambut, konversi mangrove, dan mangrove di lahan gambut. Secara signifikan, ditemukan bahwa sekitar 10% mangrove Indonesia berada pada kategori terakhir. “Kombinasi unik dari dua ekosistem lahan basah ini berlokasi di lanskap yang sama dan saat ini kurang diteliti, sehingga memunculkan tantangan teknis bagi inventori dan pelaporan GHG berkualitas tinggi, ini seharusnya menjadi prioritas riset masa depan,” kata Sigit Sasmito, anggota penulis dan peneliti senior di James Cook University.
Secara umum, para peneliti menekankan bahwa estimasi reduksi emisi akan lebih akurat ketika faktor emisi tier tinggi diterapkan. “Keluaran riset menyajikan peta jalan reduksi ketidakpastian penghitungan emisi dan serapan GHG dari lahan gambut dan mangrove Indonesia,” kata Erin Swalls, penulis anggota dan peneliti CIFOR-ICRAF.
Dengan meningkatnya kepastian pada subjek tersebut, program dan proyek akan mampu menerapkan pendekatan seragam untuk mendukung ambisi Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC), dan Indonesia akan siap untuk memimpin dalam upaya reduksi emisi sektor FOLU secara global. Kejelasan ini juga akan membangun kepercayaan investasi finansial, karena data berkualitas tinggi akan membantu menjamin keterlibatan sektor swasta bersama sektor publik.
“Dengan menerapkan faktor emisi tersempurnakan, pemerintah Indonesia bisa lebih percaya diri dalam melaporkan target reduksi emisi dalam NDC kedua Perjanjian Paris, serta sangat siap menghadapi Global Stocktake 2028 yang akan datang,” kata Murdiyarso.
“Menurut kami, penyempurnaan ini akan menjadi esensial dalam mendukung Indonesia mencapai target FOLU net sink pada 2030 dan emisi nol bersih pada 2060 atau sebelumnya,” kata para penulis menyimpulkan.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi CIFOR-ICRAF ilmuwan, Daniel Murdiyarso: d.murdiyarso@cifor-icraf.org.